oleh: Hartatik
Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan puncak bencana kekeringan akibat El Niño pada Oktober 2023. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi ketahanan pangan nasional, khususnya di wilayan selatan khatulistiwa seperti Jawa dan Bali.
Menurut BMKG, El Niño adalah fenomena memanasnya suku muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Fenomena El Niño ini memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum. Untuk tahun ini, BMKG memprediksi puncaknya terjadi antara bulan Agustus dan September.
Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Angga Dwiartama mengungkapkan, El-Niño berdampak pada sentra produksi pangan yang saat ini berpusat di Pulau Jawa, Sumatera, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Menurut Angga, kurangnya lahan produksi dan minimnya akses masyarakat terhadap lahan menjadi salah satu faktor yang memperburuk dampak El Niño “seperti penurunan produksi pangan, sebab akses terhadap lahan terbatas. Pada akhirnya masyarakat cenderung menerapkan sistem pertanian intensif monokultur, misalnya menanam padi yang memiliki nilai ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi media yang bertajuk “Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Niño”, dalam rangka merespon dampak kekeringan akibat krisis iklim, baru-baru ini.
Lebih lanjut, Angga menggarisbawahi bahwa pertanian monokultur ini sangat bergantung pada ketersediaan air. Sementara pasokan air di masa kekeringan akibat El Niño sangatlah terbatas. Dengan demikian petani sangat rentan mengalami kekeringan dengan tingkat risiko gagal panen yang tinggi.
Angga menambahkan, pentingnya memahami isu ketahanan pangan tidak hanya di level lahan, tetapi dalam konteks sistem pangan yang lebih luas, untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim. Petani memiliki tantangan yang mengharuskan mereka mampu untuk beradaptasi dengan krisis iklim dan dampak El Niño. Dengan semikian, mereka harus mampu menciptakan mikroklimat yang seimbang melalui keanekaragaman pangan lokal.
“Dalam menghadapi krisis pangan akibat El Niño, masyarakat di desa memiliki peluang untuk bisa lebih mandiri terkait pangan karena memiliki mekanisme seperti lumbung pangan.”
Ketangguhan rantai pasok pangan
Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, masyarakat sebagai konsumen juga harus turut serta dalam membangun rantai pasok pangan yang lebih tangguh serta menerapkan consumer behaviour yang ramah lingkungan dalam pola makan mereka.
Sedangkan, dari sisi pemerintah harus memastikan bahwa kesejahteraan petani juga menjadi prioritas dengan bantuan inovasi dan infrastruktur, serta harga jual yang bersaing.
Hal senada diungkapkan Nugroho Hasan, CEO Kans.id, Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Pertanian Berkelanjutan, bahwa El-Niño menyebabkan penurunan produksi pangan oleh petani. Secara umum, produktivitas hasil produksi padi di Jawa Tengah masih cukup baik seperti di daerah Boyolali dan Klaten.
Efek dari El Niño menyebabkan hasil produksi padi turun dari angka rata-rata 7-8 ton per hektare (ha) menjadi hanya 5-6 ton per ha. Sedangkan, ada kenaikan pada harga Gabah Kering Panen (GKP).
“Sumber kehidupan dari padi adalah air. Kekeringan yang terlalu lama karena El Niño ini sangat mempengaruhi produksi hasil pertanian. Di sisi lain, ada kondisi lahan kritis serta stok ketersediaan pupuk yang menjadi semakin langka dengan harganya yang juga mahal menyebabkan risiko gagal panennya semakin tinggi,” beber Nugroho.
Ia pun memisalkan kasus di Boyolali, ada serangan hama yaitu migrasi burung pipit yang menyerang tanaman padi. Dalam hal ini, pihak-pihak yang paling terdampak adalah petani dan pengusaha penggilingan skala kecil.
Melalui kolaborasi pertanian berkelanjutan bersama dengan civitas akademika Universitas Sebelas Maret (UNS), Kans.id melakukan pendekatan kepada petani dengan memberikan pelatihan pemanfaatan teknologi, serta membantu hilirisasi dari produk pangan yang sudah dipanen.
“Ada beberapa hal yang kami lakukan yaitu membuat sumur sedot diesel, melakukan gerakan pertanian organik melalui training pupuk dan metode pertanian organik, serta kerja sama pemanfaatan drone untuk melakukan pemupukan tanaman. Semua hal ini kami lakukan untuk bertahan dari kekeringan di masa El Niño ini,” jelasnya.
Pengembangan pangan lokal
Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Dr Ir Budi Waryanto MSi menjelaskan, sejak 2021-2022, pihaknya telah mengantisipasi empat faktor yang mengancam ketahanan pangan, yaitu ketidakpastian situasi global karena ancaman geopolitik, perubahan iklim, dampak pandemi Covid-19, dan disrupsi pangan, termasuk El-Niño saat ini.
“Bapanas menggandeng Kementerian BUMN agar bisa memanfaatkan kebijakan pangan. Namun, tentu saja pemerintah tidak bisa langsung menguasai 100% kondisi pangan. Terdapat kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta dalam mempersiapkan stok pangan sebagai mitigasi kemarau panjang sebagai dampak dari pergerakan angina El Niño,” jelas Budi.
Saat ini, Bapanas masih fokus terhadap penyediaan pangan skala nasional. Hingga kini, beras masih mendominasi sebagai pangan utama dengan persentase konsumsi sebanyak 90%.
Sebagai solusi jangka panjang, Bapanas sedang mempersiapkan sebuah struktur untuk memastikan pengembangan pangan lokal. Salah satunya melalui program B2SA atau Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman yang mendukung diversifikasi pangan lewat kearifan pangan lokal.
“Lewat program ini, Bapanas mendorong masyarakat untuk konsumsi pangan lokal. Namun, untuk dapat menyukseskan program ini, kami membutuhkan partisipasi dari pegiat pangan lokal. Sejak dulu, sudah banyak sumber karbohidrat seperti papeda, olahan sagu di Papua. Pangan tersebut harus dipopulerkan kembali melalui inovasi, seperti dibuat menjadi olahan lain yang lebih menarik untuk menarik minat konsumsi tapi tetap bergizi,” sambungnya.
Terkait pangan lokal, Emil Kleden, Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), menyoroti semakin terdesaknya keberlangsungan pangan lokal tersebut, khususnya di Papua. Sebagian besar warga Papua sudah beralih dari sagu dan ubi jalar sebagai makanan pokok menjadi beras.
Menurut Emil, ada persoalan yang problematik karena beras dianggap berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sagu. Ada persepsi ‘kenaikan kelas’ yang mereka dapatkan ketika makan nasi. Akibatnya, kebutuhan akan sagu semakin menurun. Begitu pun praktik tradisional untuk penyimpanan ubi dan sagu semakin ditinggalkan. Padahal lumbung sagu adalah komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat adat di sana.
“Tidak hanya mengenai beras, bencana kekeringan di Papua juga menyebabkan mengancam ketersediaan bahan pangan utama masyarakat Papua yaitu ubi jalar dan sagu. Utamanya, karena dalam menyimpan cadangan sagu yang memerlukan tanah basah. Stok sagu tidak bisa bertahan lama jika disimpan di tanah yang kering. Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain, semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal dari Orang Asli Papua (OAP) karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu.
Bencana kelaparan
Dia mengingatkan bahwa setiap tahunnya dalam 40 tahun terakhir, selalu ada daerah di Papua dan Papua Barat yang mengalami bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem, musim dingin, kekeringan, dan gagal panen. “Saya melihat dari sisi ekonomi, sagu, keladi, ubi jalar yang bukan produk hasil budidaya belum diperhitungkan sebagai komoditas yang dihitung dalam sektor bisnis.”
Oleh karena itu, komoditas seperti ini juga tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi negara. Faktor ini menyebabkan pangan lokal semakin bergeser dan digantikan oleh komoditas lain yang memiliki nilai jual.
Hal ini sangat disayangkan karena jika pangan local diperhitungkan secara ekonomi, maka potensi keberlangsungannya juga jadi lebih tinggi. Ketahanan pangan dan kearifan lokal akan tetap terjaga dengan konsep kita menjaga alam dan alam juga akan menjaga kita,” ujar Emil.
Emil juga menyampaikan bahwa semua pihak, termasuk di dalamnya pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan ketahanan pangan di lokal dapat tercapai. Terutama peran pemerintah daerah dalam membantu peningkatan produksi dan teknik penyimpanan jangka panjang pangan local OAP seperti sagu, ubi jalar, umbi keladi dalam mengantisipasi cuaca ekstrem dan El Niño.