Jakarta – Pemerintah memastikan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) tetap berlanjut tahun ini, memberikan sinyal positif bagi industri dan perekonomian nasional. Keputusan ini diharapkan dapat memperkuat daya saing industri dalam negeri serta menarik lebih banyak investasi di sektor manufaktur.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa kebijakan HGBT memiliki dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. “Sejak diterapkan pada 2020, HGBT telah memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp 247,26 triliun, yang terdiri dari peningkatan ekspor Rp 127,84 triliun, kenaikan penerimaan pajak Rp 23,3 triliun, serta pengurangan subsidi pupuk hingga Rp 4,94 triliun,” kata Agus dalam keterangan resmi, Selasa, 28 Januari.
Keberlanjutan HGBT dianggap sebagai langkah strategis dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dengan sektor manufaktur ditargetkan menyumbang 21,9 persen terhadap PDB nasional periode 2025-2029.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sektor industri pengolahan nonmigas tetap menjadi kontributor utama PDB nasional dengan kontribusi 17,18 persen dan pertumbuhan 4,84 persen pada triwulan III 2024. Total nilai ekspor industri ini mencapai USD 196,55 miliar atau 74,25 persen dari total ekspor nasional.
Selain itu, investasi di sektor industri nonmigas tercatat sebesar Rp 515,7 triliun, setara dengan 40,9 persen dari total investasi nasional. Sektor ini juga menyerap tenaga kerja hingga 20,01 juta orang.
“Keberlanjutan kebijakan HGBT menjadi krusial agar industri dalam negeri terus berkembang, meningkatkan produksi, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja,” ujar Agus.
Menurut Keputusan Menteri ESDM Nomor 255K Tahun 2024, terdapat tujuh sektor industri yang menerima fasilitas HGBT, yaitu industri pupuk (4 perusahaan), petrokimia (56 perusahaan), oleokimia (10 perusahaan), baja (67 perusahaan), keramik (69 perusahaan), kaca (18 perusahaan), dan sarung tangan karet (4 perusahaan), dengan total 228 perusahaan penerima dan kuota 890,24 BBTUD.
Namun, realisasi serapan gas bumi pada 2023 hanya mencapai 80,10 persen. Agus menjelaskan bahwa beberapa industri mengurangi penggunaan gas akibat penerapan surcharge oleh pemasok serta kuota gas yang dikenakan HGBT. “Saat kuota habis, harga gas kembali ke harga pasar, yang membuat industri harus menyesuaikan penggunaan gasnya,” katanya.
Meskipun manfaatnya besar, kebijakan HGBT masih menghadapi sejumlah kendala. Salah satunya adalah harga gas regasifikasi yang ditawarkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN), yang mencapai USD 16 per MMBTU—sekitar 2,5 kali lipat dari harga HGBT yang ditetapkan.
Selain itu, ada pembatasan kuota yang dihitung secara harian atau bulanan, serta pengenaan surcharge ketika kuota habis. “Pada 2024, kuota HGBT untuk wilayah Jawa bagian barat hanya 60 persen dari kontrak, sehingga industri harus menyesuaikan konsumsi gas mereka,” jelas Agus.
Tak hanya itu, beberapa perusahaan yang telah ditetapkan sebagai penerima HGBT belum mendapatkan pasokan gas sesuai kebutuhan, seperti PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang seharusnya menerima 40 BBTUD.
Agus menegaskan bahwa lebih dari 95 persen industri penerima HGBT tetap membayar harga gas di atas ketentuan, yakni di atas USD 6,5 per MMBTU. “Kami terus mendorong agar kebijakan ini lebih efektif dan memberikan manfaat maksimal bagi industri,” katanya.
Untuk memastikan efektivitas kebijakan ini, Kementerian Perindustrian mengusulkan agar HGBT untuk industri tidak lagi dikaitkan dengan sektor pupuk dan kelistrikan. “Pupuk sudah menerima subsidi harga, begitu pula listrik yang mendapatkan subsidi energi. Jika tetap dibundling, ini akan mempengaruhi perhitungan rata-rata harga gas dan merugikan industri,” tegas Agus.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah harus melihat kebijakan HGBT sebagai faktor pendorong ekonomi, bukan sekadar beban keuangan negara. “Memang pendapatan negara dari gas berkurang, tetapi nilai tambah yang dihasilkan industri jauh lebih besar. Melalui pajak dan ekspor, manfaatnya bisa mencapai enam kali lipat,” pungkasnya. (Hartatik)