Jakarta – Laporan Center for Energy Research and Advocacy Hub (CERAH) mengungkap fakta penting di balik lambannya penyaluran pembiayaan sektor energi terbarukan oleh perbankan nasional. Di tengah desakan transisi menuju energi bersih, justru regulasi yang belum konsisten dan tingginya risiko investasi menjadi penghalang utama bagi lembaga keuangan untuk berani melangkah.
Dalam paparan hasil survei berjudul Perbankan Indonesia di Persimpangan Transisi Energi Terbarukan, Kamis, 30 Oktober, dijelaskan bahwa meski isu keberlanjutan sudah mulai diperhitungkan dalam kebijakan investasi, mayoritas perbankan masih berhati-hati mendanai proyek energi terbarukan. Sebanyak 59 persen responden dari kalangan perbankan mengaku keputusan mereka masih sangat dipengaruhi regulasi dan arahan pemerintah, bukan semata pertimbangan bisnis jangka panjang.
“Ketidakkonsistenan kebijakan dan belum adanya instrumen mitigasi risiko membuat bank lebih nyaman mendanai sektor fosil yang dianggap aman,” ujar Outreach and Advocacy Associate CERAH, Anastasia Kriestella.
Ketimpangan kebijakan
Menurut CERAH, tantangan terbesar pembiayaan energi bersih terletak pada persepsi risiko. Proyek energi terbarukan dinilai memiliki periode pengembalian modal yang panjang serta biaya awal yang tinggi, termasuk proses uji kelayakan (due diligence). Di sisi lain, kebijakan harga batu bara domestik (DMO) yang ditetapkan hanya USD 70 per ton membuat energi terbarukan tampak tidak kompetitif.
“Tanpa adanya insentif atau skema derisking dari pemerintah, seluruh beban risiko berada di pihak bank. Akibatnya, lembaga keuangan cenderung memilih proyek yang dianggap lebih aman seperti batubara,” kata Anastasia.
Data CERAH menunjukkan, hingga akhir 2024, pembiayaan untuk sektor pertambangan dan penggalian mencapai Rp373 triliun, sementara energi terbarukan hanya sekitar Rp55 triliun. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa upaya peralihan ke keuangan hijau masih jauh dari optimal.
Kepastian regulasi diperlukan
CERAH menilai, agar transisi energi bisa menarik minat perbankan, diperlukan kepastian hukum dan skema pembagian risiko yang jelas. Bentuk dukungan bisa berupa insentif pajak, jaminan risiko, pembiayaan campuran, hingga skema kerja sama pemerintah-swasta (KPBU).
“Negara-negara yang berhasil mempercepat transisi energinya memiliki regulasi yang tegas dan konsisten. Indonesia butuh hal yang sama,” tegas Anastasia.
Ia menambahkan, lemahnya dorongan kebijakan untuk menghentikan pembiayaan batubara juga menghambat komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060. Padahal, transisi energi nasional diperkirakan memerlukan investasi USD 20–40 miliar per tahun.
Manager of Climate Finance, Climate Policy Initiative (CPI), Luthfyana Larasati, mengungkapkan bahwa 64,2 persen investasi energi terbarukan di Indonesia masih berasal dari pembiayaan swasta dengan bunga komersial. Kondisi ini menunjukkan belum adanya dorongan yang cukup kuat dari sisi kebijakan publik.
“Selama ini bank masih bertanya: apa untungnya mendanai proyek hijau? Pemerintah perlu menjawab dengan skema konkret seperti subsidi bunga atau pembagian risiko,” ujarnya.
Menurutnya, bank perlu mengubah cara pandang: pendanaan hijau bukan beban, melainkan peluang jangka panjang yang menguntungkan.
Kolaborasi adalah kunci
Sementara itu, Sustainable Finance Analyst WWF Indonesia, Aurellia Puteri Arfita, menilai perbankan memiliki posisi strategis dalam menghadapi krisis iklim. Risiko perubahan iklim, katanya, bisa berdampak langsung terhadap risiko keuangan bank, baik dari sisi kredit, pasar, maupun likuiditas.
“Transisi menuju praktik keuangan berkelanjutan harus berbasis sains dan memiliki peta jalan yang kredibel. Ini penting agar bank memahami manfaat dan peluang dari pembiayaan hijau,” tegas Aurellia.
Ia menambahkan, kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat sipil diperlukan untuk membangun sistem keuangan yang tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga keberlanjutan jangka panjang. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)


