Jakarta – Sebuah studi baru dari Universitas Hawaiʻi di Mānoa (UH Mānoa) menemukan bahwa petani kelapa sawit mandiri di Indonesia terpinggirkan dari pasar kelapa sawit berkelanjutan, menimbulkan kekhawatiran terkait keadilan dan akses ke dalam industri global senilai USD 72 miliar, kata universitas tersebut dalam siaran pers pada 11 September.
Diterbitkan dalam jurnal Communications Earth & Environment, studi ini mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik yang bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) hanya memasok 7% buah kelapa sawit mereka dari petani kecil independen, meskipun para petani ini diperkirakan menghasilkan 34% dari total buah kelapa sawit di Indonesia. Sebaliknya, pabrik-pabrik bersertifikat lebih bergantung pada petani kecil yang memiliki perjanjian formal.
“Penyingkiran pasif itu diam-diam namun kuat,” kata penulis utama Andini Ekaputri, yang melakukan penelitian ini sebagai bagian dari program doktoratnya di UH Mānoa. “Banyak petani tidak pernah memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di pasar penggilingan bersertifikat, dan mereka kehilangan potensi manfaat seperti transparansi harga.”
Selisih yang semakin melebar
Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, bergantung pada jutaan petani kecil, banyak di antaranya beroperasi tanpa kontrak formal atau sertifikat tanah yang sah. Temuan studi ini menyoroti bagaimana struktur skema sertifikasi dan peraturan yang akan datang berisiko memperdalam ketidaksetaraan.
Ilmuwan lingkungan David Gaveau, pendiri The TreeMap, dalam sebuah posting media sosial mengatakan bahwa Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dapat semakin mendiskriminasi para produsen ini:
“EUDR mewajibkan impor minyak sawit bebas deforestasi, legal, dan sepenuhnya dapat dilacak dari perkebunan hingga pabrik pengolahan. Banyak petani kecil sudah memenuhi kriteria bebas deforestasi, tetapi aturan legalitas dan pelacakan berisiko mengesampingkan mereka. Berbeda dengan RSPO yang mengizinkan minyak sawit tidak bersertifikat dari petani independen melalui sistem mass balance, EUDR melarang hal ini karena mensyaratkan pelacakan penuh. Dalam praktiknya, pedagang minyak sawit besar sudah beralih ke model rantai pasok yang lebih ketat untuk Eropa yang mengesampingkan petani independen yang tidak bersertifikat. Kami mendengar dari lapangan, hal ini sudah terjadi.”
Gaveau memperingatkan bahwa tanpa pendekatan baru, regulasi ini berisiko “memperkuat ketidakadilan: menguntungkan pelaku industri sambil mengabaikan petani kecil yang memproduksi sebagian besar minyak sawit dunia.”
Penulis studi ini mendesak RSPO, pedagang minyak sawit besar, dan pembuat kebijakan untuk mengadopsi mekanisme yang secara aktif melibatkan petani kecil independen yang bebas dari deforestasi dan kebakaran. Mereka merekomendasikan tindakan kolaboratif antara pemerintah dan sektor swasta untuk mengatasi hambatan seperti legalitas lahan dan memastikan bahwa transisi menuju minyak sawit berkelanjutan dilakukan secara adil dan inklusif. (nsh)
Foto banner: Suwit Ngaokaew/shutterstock.com