Jakarta – Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh koalisi organisasi masyarakat sipil, termasuk MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch, mengungkapkan bahwa daya dukung lingkungan hidup di Indonesia terhadap budidaya kelapa sawit sudah hampir mencapai batas atasnya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa industri kelapa sawit Indonesia hanya dapat secara berkelanjutan menempati lahan seluas 18,15 juta hektar, sebuah pengungkapan yang signifikan untuk sektor yang telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir, demikian pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh ketiga organisasi masyarakat sipil tersebut pada hari Selasa, 1 Oktober.
Dengan perkebunan kelapa sawit yang mencakup wilayah yang sangat luas di Indonesia, temuan-temuan ini menyoroti sebuah keprihatinan yang semakin besar: lahan yang tersedia untuk ekspansi lebih lanjut semakin menyusut, dan ekosistem di negara ini semakin tertekan. Koalisi ini memperingatkan bahwa jika pertumbuhan industri kelapa sawit terus berlanjut tanpa terkendali, maka dampaknya terhadap lingkungan dan ekonomi akan semakin parah. Deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan menurunnya produktivitas tidak hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan jangka panjang industri kelapa sawit dan perekonomian nasional.
Giorgio Budi Indrarto, Wakil Direktur MADANI Berkelanjutan, menekankan perlunya perubahan dalam praktik-praktik industri. Ia mengatakan bahwa fokus industri kelapa sawit saat ini adalah perluasan perkebunan kelapa sawit, bukan peningkatan produktivitas. “Bagaimana mengubah sawit menjadi lebih baik, tidak merusak dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa melakukan perluasan. Konteks daya dukung dan daya tampung perlu dibunyikan,” ujar Giorgio.
Penelitian ini menggunakan kalkulator jejak ekologi untuk mengukur kesesuaian lahan untuk budidaya kelapa sawit. Empat belas faktor lingkungan yang membatasi, termasuk ketersediaan air, unit hidrologi gambut, hutan bakau, kawasan konservasi, dan keberadaan spesies yang dilindungi, diperhitungkan. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa kelapa sawit hanya dapat ditanam secara berkelanjutan di daerah-daerah di mana faktor-faktor ini tidak terganggu.
Riezcy Cecilia Dewi, seorang peneliti dari Satya Bumi, mengatakan bahwa mereka pertama-tama menghitung lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia di berbagai sektor dan kemudian menilai kesesuaian lahan untuk kelapa sawit berdasarkan parameter fisik. Ia mengatakan bahwa hasilnya menunjukkan bahwa 34% dari perkebunan kelapa sawit yang ada di tahun 2022 berada di luar area lahan yang sesuai, dan sebagian besar berada di Kalimantan.
“Selain itu ditemukan 64% ‘cap’ sawit berada di area penting yang masuk dalam variabel pembatas, paling banyak juga ditemukan di Kalimantan yang mencapai 80% dari tutupan sawit yang ada disana,” jelas Riezcy.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan bahwa menghormati “batas” lingkungan untuk ekspansi kelapa sawit merupakan hal yang penting. Ia mengatakan bahwa jika industri ini melampaui batas-batas tersebut, konsekuensinya akan dirasakan di berbagai sektor, terutama karena kapasitas lahan untuk mendukung kelapa sawit akan terbebani. Surambo mendesak pemerintah Indonesia yang akan datang untuk memasukkan temuan-temuan studi ini ke dalam kerangka kerja peraturan yang dapat mencegah perluasan lebih lanjut.
Koalisi ini menyerukan agar pemerintah segera bertindak, mendesak pemerintah untuk menghentikan pemberian izin baru untuk perkebunan kelapa sawit dan memprioritaskan peningkatan efisiensi perkebunan yang sudah ada. Di antara rekomendasi mereka adalah mengoptimalkan intensifikasi perkebunan, menyelesaikan konflik lahan dan agraria, mengupayakan reformasi pajak di sektor kelapa sawit, dan mendorong kepatuhan terhadap standar sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO.
Temuan-temuan penelitian ini memberikan kerangka kerja yang sangat penting bagi kebijakan industri kelapa sawit di masa depan di Indonesia. Karena industri ini menghadapi persimpangan jalan antara lingkungan dan ekonomi, hasil kerja koalisi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pendekatan yang seimbang dalam produksi kelapa sawit yang melindungi ekosistem dan stabilitas ekonomi. (nsh)
–Ralat: 2 Oktober, 14:29. Paragraf kedua. Sebelumnya daya tampung lingkungan batas atas atau ‘cap’ sawit di Indonesia ditulis 18,51 juta hektar. MADANI Berkelanjutan memperbaiki angka ini menjadi 18,15 juta hektar.