Jakarta – Sebuah studi terkini mengungkapkan bahwa penutupan lebih awal Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, yang kemudian digantikan oleh pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan.
Temuan ini muncul dari pemodelan skenario pensiun dini PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya, yang menunjukkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp 82,6 triliun.
Penelitian Yayasan Indonesia Cerah dan Center of Economic and Law Studies (Celios) itu menyoroti pentingnya menyambut pensiun dini PLTU batubara dengan menggencarkan pembangunan energi terbarukan. Meskipun penutupan PLTU dapat menimbulkan kekhawatiran terkait dampak ekonomi negatif, studi ini menunjukkan bahwa strategi pensiun dini yang diikuti oleh ekspansi energi terbarukan dapat menjadi solusi yang berkelanjutan.
Ekonom dan Direktur Celios, Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa dampak ekonomi dari penutupan PLTU batubara sangat tergantung pada upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan sebagai pengganti PLTU.
Studi tersebut menyoroti dua skenario yang berbeda yakni skenario pertama menunjukkan penutupan PLTU tanpa penggantian, sedangkan skenario kedua melibatkan pembangunan pembangkit energi terbarukan seiring dengan penutupan PLTU.
“Studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa skenario penutupan PLTU batubara di tiga lokasi bisa menurunkan PDB sebesar Rp 3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang. Sementara skenario ke-2 di mana penutupan PLTU batubara dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan justru mampu menyumbang ekonomi Rp 82,6 triliun, menyerap 639 ribu tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional,” jelas Bhima.
Berdasarkan rekomendasi studi, Celios mendorong negara-negara maju yang terlibat dalam Just Energy Transition Partnership (JETP), termasuk pemerintah dan lembaga pembiayaan, untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam program pensiun dini. Pentingnya langkah ini ditekankan agar proses transisi energi dapat berjalan secara efisien dan diiringi dengan percepatan pembangunan infrastruktur transmisi dan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Cerah, Agung Budiono menambahkan bahwa pensiun dini PLTU merupakan langkah penting dalam mencapai tujuan transisi energi untuk mendukung ambisi iklim. Namun, ia juga menekankan bahwa langkah ini harus disertai dengan akselerasi pembangunan energi terbarukan agar dampak ekonomi yang signifikan dapat tercapai.
“Jadi antara pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel, agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi, penting untuk melihat ini secara utuh. Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat signifikan karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu,” kata Agung.
Dalam konteks persiapan transisi energi yang menghadirkan keadilan, peneliti Celios, Muhamad Saleh, menyoroti kompleksitas kerangka transisi energi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kegagalan potensial dalam transisi energi disebabkan oleh kurangnya kerangka kerja seragam dan komprehensif yang diadopsi oleh Pemerintah Pusat, PLN, dan Sekretariat JETP.
Situasi ini menjadi semakin rumit dengan kurangnya dasar hukum yang kuat untuk program JETP dan ketidakjelasan dalam menetapkan waktu spesifik untuk penyusunan peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU.
Sementara itu, Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), M Arifuddin, menyatakan bahwa Kementerian ESDM sedang bekerja untuk menyusun roadmap pemensiunan PLTU batubara. Ia menegaskan bahwa hasil riset dari Yayasan Indonesia Cerah dan Celios akan menjadi landasan penting dalam penyusunan kebijakan ini.
Namun, terdapat juga kritik terhadap skema pensiun dini PLTU, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang. Ia menyatakan skema pensiun dini PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu sama sekali tidak mencerminkan asas keadilan. Pihak ADB belum mensosialisasikan program ETM untuk kepada warga yang terdampak, bahkan tidak menjelaskan bagaimana warga dapat dilibatkan pada kegiatan konsultasi agar aspirasi mereka dapat diakomodir dengan baik..
Kekhawatiran juga muncul terkait dengan kemungkinan memperpanjang umur PLTU batubara melalui praktik co-firing, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar.
Dengan demikian, meskipun pensiun dini PLTU batubara dianggap sebagai langkah positif dalam mencapai tujuan transisi energi, namun perluasan pembangunan energi terbarukan dan pertimbangan terhadap dampak sosial menjadi kunci dalam merancang kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. (Hartatik)