
Jakarta – Laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) memaparkan status keanekaragaman hayati bumi kini kian mengkhawatirkan. Para ilmuwan mengungkapkan bahwa saat ini, bumi telah kehilangan lebih dari 80% biomassa satwa menyusui (terdiri dari satwa mamalia dan primata), disebabkan oleh kerusakan ekosistem alami yang mengalami kerusakan 100 kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna Selasa (31/5) mengatakan bahwa keanekaragaman hayati merupakan hal vital untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya saat ini dan dimasa yang akan datang. Upaya untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati bukan hanya tugas pemerintah saja, namun butuh dukungan aktif semua pihak, termasuk sektor swasta dan masyarakat, serta dilakukan dengan pendekatan bentang alam.
“Indonesia menjadi negara paling kaya kedua di dunia untuk keanekaragaman hayati daratan. Tapi bila digabungkan dengan keanekaragaman hayati di laut bisa menjadi nomor satu. Tapi kadang-kadang saking kayanya, kita menjadi kurang peduli bahwa keanekaragaman hayati itu landasan untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Prof Jatna Supriatna, Ketua I-SER FMIPA Universitas Indonesia mengungkapkan isu terbesar di dunia saat ini adalah perubahan iklim, kerusakan habitat, dan biodiversitas. Perubahan iklim ada relevansinya dengan stok karbon dan biodiversitas.
“CO2 kita di udara sudah 418 ppm, dan suhu sudah naik satu derajat Celcius. Ini menjadi masalah besar,” ujarnya, mengacu pada data NOAA baru-baru ini mengenai rata-rata bulanan karbon dioksida di atmosfer yang telah mencapai rekor tertinggi bulan April lalu. Prof Jatna mengatakan bahwa “hal ini masalah besar untuk Indonesia … yang paling berat adalah (dampaknya terhadap) biodiversitas di hutan kita.”
Masalah itu, lanjutnya, ditimbulkan oleh perubahan iklim. Ia memaparkan, berdasarkan penelitian pada jurnal ‘Climate Change’ jika perubahan iklim tidak bisa diatasi dengan baik, maka 37 persen spesies akan punah pada 2050. Untuk menghindarkan itu, Prof Jatna menyarankan perilaku manusia baik individu maupun perusahaan agar menghasilkan netral karbon.
Pada kesempatan yang sama, Anggota AIPI dan Direktur Pusat Studi Etika Lingkungan Universitas Nasional, Prof Dr Endang Sukara mengingatkan kita semua, bahwa keanekaragaman hayati Indonesia sangat unik. Bahkan sebagian besar endemik atau tidak dijumpai dimanapun kecuali di hanya di Tanah Air. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengungkapkan potensi ekonomi keanekaragaman hayati terutama untuk bisnis farmasi multimiliar dolar.
“Kita harus betul-betul menyadari pentingnya keanekaragaman hayati, tidak hanya melindunginya, tetapi yang lebih penting memanfaatkannya untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” katanya. Lebih lanjut, menurutnya, kebijakan politik, investasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bioetika harus dijadikan instrumen utuh untuk mengarusutamakan keanekaragaman hayati dalam pembangunan nasional. (Hartatik)