Jakarta – Pemerintah melalui Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menargetkan kapasitas pembangkit listrik nasional mencapai 443 gigawatt (GW) pada 2060. Dari total tersebut, 79% akan bersumber dari energi baru terbarukan (EBT), termasuk 42% dari variable renewable energy (VRE) seperti tenaga surya dan angin.
Hal ini disampaikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Kamis, 23 Januari.
Untuk mencapai target tersebut, pembangunan jaringan listrik skala besar atau supergrid menjadi salah satu fokus utama. “Supergrid akan memastikan energi terbarukan dari wilayah yang kaya sumber daya, seperti Kalimantan dan Sulawesi, dapat disalurkan ke pusat konsumsi utama seperti Jawa dan Sumatera. Ini juga meningkatkan keandalan sistem kelistrikan nasional,” ujar Yuliot.
Pembangunan supergrid akan dilakukan secara bertahap hingga 2045 dengan prioritas interkoneksi utama, termasuk Sumatera-Jawa dan Kalimantan-Sulawesi. Selain itu, teknologi penyimpanan energi akan diterapkan untuk mendukung stabilitas jaringan, terutama dari sumber VRE yang bersifat intermiten.
Dalam RUKN terbaru yang dirilis melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 314.K/TL.01/MEM.L/2024, pemerintah menetapkan bauran EBT mencapai 82% dalam satuan million ton oil equivalent (MTOE) pada 2060, melebihi target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 78%.
“Dengan fokus pada EBT, pemerintah ingin memastikan bahwa transisi energi di Indonesia tidak hanya mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru di sektor energi bersih,” tambah Yuliot.
Peningkatan konsumsi listrik per kapita
RUKN juga mencatat target peningkatan konsumsi listrik per kapita hingga 5.038 kWh pada 2060, sebanding dengan konsumsi negara-negara maju seperti Inggris dan Jerman saat ini. Hal ini diharapkan sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% per tahun.
“Peningkatan konsumsi listrik per kapita menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Namun, penting untuk memastikan bahwa kebutuhan ini dipenuhi dengan cara yang berkelanjutan,” ujar Yuliot.
Meski telah ditetapkan, RUKN tetap memerlukan masukan dan pertimbangan DPR, sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XXI/2023. “Kami berharap DPR dapat memberikan masukan yang memperkuat implementasi RUKN sehingga transisi energi dapat berjalan optimal,” kata Yuliot.
Rencana ambisius ini sejalan dengan upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penggunaan energi bersih. Pemerintah berharap, selain mendukung keberlanjutan lingkungan, transisi energi ini juga dapat menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan.
“RUKN bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan listrik, tetapi juga tentang mempersiapkan masa depan energi Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan,” imbuh Yuliot. (Hartatik)