Jakarta-Pada hari Rabu, 6 November, ketika sebagian besar suara telah diberikan di Amerika Serikat, sebagian besar jaringan berita utama di negeri itu menetapkan Donald Trump terpilih sebagai presiden. Berita tersebut memicu reaksi dari komunitas aksi iklim global. Terpilihnya kembali Trump telah memicu kembali perdebatan mengenai komitmen AS terhadap Perjanjian Paris dan peran kepemimpinannya dalam memerangi krisis iklim.
Meskipun para pemimpin mengakui tantangan yang ditimbulkan oleh perkembangan ini, mereka tetap teguh dalam tekad mereka untuk memajukan tujuan iklim. Dalam sebuah pernyataan kepada media, beberapa pemimpin memperingatkan bahwa pergeseran menuju energi bersih telah terjadi, dan gerakan iklim global tetap teguh. Mereka mengatakan bahwa krisis iklim telah melampaui batas-batas negara, dan perjuangan untuk masa depan yang berkelanjutan akan terus berlanjut, dengan atau tanpa kepemimpinan federal AS.
Laurence Tubiana, CEO European Climate Foundation dan arsitek utama Perjanjian Paris, menekankan ketahanan pakta iklim global tersebut. “Hasil pemilihan umum di Amerika Serikat merupakan sebuah kemunduran bagi aksi iklim global, namun Perjanjian Paris telah terbukti tangguh dan lebih kuat dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan negara manapun,” ujar Tubiana. Ia menyoroti momentum ekonomi di balik transisi menuju energi bersih, dan memperingatkan bahwa AS berisiko kehilangan peran kepemimpinannya. “Kerugian akibat badai baru-baru ini merupakan pengingat suram bahwa semua orang Amerika terkena dampak dari perubahan iklim yang semakin parah,” tambahnya, seraya mendesak para pelaku di tingkat daerah seperti kota dan negara bagian untuk melanjutkan upaya iklim yang ambisius.
Menteri Luar Negeri dan Utusan Khusus Jerman untuk Aksi Iklim Internasional, Jennifer Morgan, menegaskan kembali komitmen Eropa terhadap netralitas iklim. “Bagi Jerman dan Uni Eropa, transisi menuju netralitas iklim merupakan landasan bagi daya saing kita di masa depan,” ujarnya, seraya menekankan pentingnya kolaborasi internasional untuk menegakkan Perjanjian Paris. Morgan menyatakan harapannya untuk melanjutkan kerja sama dengan para aktor AS di berbagai sektor meskipun ada perubahan arah dari pemerintah federal.
Mantan Direktur Eksekutif UNFCCC Christiana Figueres menyampaikan nada optimis, menggarisbawahi momentum energi bersih yang tak terbendung. “Tetap bertahan dengan minyak dan gas sama saja dengan tertinggal di dunia yang bergerak cepat,” ia memperingatkan, seraya mencatat bahwa teknologi energi bersih dengan cepat melampaui bahan bakar fosil. Dari acara Earthshot Prize di Afrika Selatan, Figueres menyoroti pentingnya aksi iklim lokal, yang ia gambarkan sebagai “penangkal malapetaka dan keputusasaan.”
Negara-negara kepulauan kecil, yang diwakili oleh Duta Besar Dr. Pa’olelei Luteru, juga menyuarakan tekad mereka. “Pulau-pulau kami berada di garis depan krisis iklim, tetapi kami akan terus meningkatkan ambisi secara menyeluruh,” ujarnya, sambil menekankan pentingnya multilateralisme.
Dari Brasil, mantan Menteri Lingkungan Hidup Izabella Teixeira menolak penyangkalan iklim sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertahankan dalam menghadapi keadaan darurat iklim. “Terlepas dari kemenangan Trump, masyarakat Amerika tidak diragukan lagi akan ikut bertanggung jawab atas solusi krisis iklim,” tegas Teixeira.
Raila Odinga, mantan Perdana Menteri Kenya, menyerukan kepemimpinan AS pada konferensi iklim COP29 mendatang di Baku. “AS harus memimpin dari depan dan mendukung penyampaian pendanaan iklim yang ambisius untuk memenuhi kebutuhan adaptasi dan mitigasi negara-negara berkembang,” ujar Odinga. Ia menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh AS akan berdampak secara signifikan terhadap Afrika, wilayah yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Mantan Penasihat Iklim Nasional Gedung Putih, Gina McCarthy, menyatakan, “Pergeseran menuju energi bersih tidak dapat dibendung, dan negara kita tidak akan mundur.” McCarthy menyoroti koalisi luas kota, negara bagian, dan bisnis di bawah inisiatif ‘America Is All In’ dari Bloomberg, yang, menurut Rocky Mountain Institute, mewakili 65% populasi AS dan 68% PDB. Ia memperingatkan bahwa setiap upaya untuk membatalkan Inflation Reduction Act (IRA), yang telah menciptakan lebih dari 330.000 lapangan kerja energi bersih, akan menghadapi perlawanan keras dari dua kubu. (nsh)