PLTU baru, gasifikasi batu bara ancam upaya pengurangan emisi Indonesia

Jakarta – Koalisi masyarakat sipil menilai berlanjutnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dan pengembangan teknologi turunan batubara seperti gasifikasi dan pencairan batu bara dapat menghambat target Indonesia dalam mencapai penurunan emisi karbon sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris. Menurut mereka, di tengah tren penurunan emisi karbon global, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam mengurangi emisi karbon.

Novita Indri, pengkampanye energi fosil dari Trend Asia, dalam keterangan pers Rabu, 13 November, mengungkapkan bahwa pembangunan PLTU baru dan pengembangan teknologi turunan batu bara justru kontraproduktif dengan upaya penurunan emisi yang sedang digalakkan.

Laporan terbaru dari Global Carbon Budget menunjukkan bahwa emisi karbon dari bahan bakar fosil di Indonesia mencapai 733,2 juta ton pada 2023, sedikit menurun dibandingkan dengan 2022. Meski ada penurunan, emisi karbon dari sektor energi, khususnya yang berasal dari penggunaan batubara, masih menjadi ancaman besar bagi pencapaian target net zero emission pada 2060.

Selain itu, pengembangan gasifikasi batu bara justru memperpanjang usia penggunaan batu bara di Indonesia. Ini bertentangan dengan komitmen transisi energi yang seharusnya berfokus pada pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.

Komitmen FOLU Net Sink 2030

Sementara itu, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad menambahkan bahwa jika pemerintah serius ingin mencapai target net zero emission, langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan pembangunan PLTU baru dan mempercepat pensiun dini bagi PLTU yang sudah ada. “Kita membutuhkan perubahan kebijakan yang lebih berani untuk benar-benar meninggalkan energi batubara dan beralih ke energi terbarukan,” pungkas Nadia.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya komitmen Indonesia dalam inisiatif FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030. Melalui inisiatif ini, sektor hutan dan lahan diharapkan dapat menyerap lebih banyak emisi daripada yang dilepaskan, sehingga berkontribusi besar dalam menurunkan emisi karbon nasional. “Komitmen FOLU Net Sink 2030 mendapat apresiasi global, terutama dari negara-negara pemilik hutan tropis seperti Brasil dan Republik Demokratik Kongo,” ujar Nadia.

“Namun, komitmen ini tidak akan efektif jika pemerintah terus mendorong kebijakan energi yang bertumpu pada batubara. Indonesia harus mengambil posisi tegas dalam mencegah deforestasi dan bergabung dengan inisiatif global seperti Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP),” tegasnya.

Meski ada sedikit penurunan emisi dari bahan bakar fosil di Indonesia, laporan Global Carbon Budget memprediksi kenaikan emisi karbon global dari bahan bakar fosil mencapai rekor tertinggi sebesar 37,4 miliar ton pada 2024, meningkat 0,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini menunjukkan belum ada tanda-tanda puncak emisi karbon dari sektor energi fosil.

Pierre Friedlingstein, pemimpin studi Global Carbon Budget dari Universitas Exeter, menyatakan bahwa langkah tegas harus segera diambil oleh negara-negara peserta COP29 untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C dari tingkat pra-industri.

“Waktu semakin terbatas. Dunia harus segera mengurangi emisi bahan bakar fosil jika kita ingin menjaga pemanasan global di bawah batas aman. Hingga kita mencapai net zero, suhu dunia akan terus meningkat, membawa dampak yang semakin parah,” ujar Friedlingstein. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles