Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa hingga Juni 2024, kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) mengalami peningkatan sebesar 217,73 megawatt (MW), yang didominasi pembangkit listrik tenaga hidro (PLT Hidro) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Pencapaian ini baru sekitar 66,6 persen dari target tahun ini yang dipatok sebesar 326,91 MW.
Kapasitas tambahan dari PLT Hidro mencapai 127,56 MW atau sekitar 66,4 persen dari target. Sementara PLTS menambahkan 75,17 MW, melampaui target dengan capaian 147,02 persen. Di sisi lain, penambahan kapasitas dari bioenergi baru mencapai 15 MW atau 43,2 persen dari target.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengungkapkan bahwa pengembangan energi hijau di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan utama, termasuk keterbatasan infrastruktur dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung.
“Makanya program-program untuk mendorong demand harus kita lakukan. Contohnya electric vehicle (EV) terus dikebut dan kemudian PLTS untuk industri dan perumahan harus bisa didorong,” ujar Arifin, Selasa, 6 Agustus.
Hingga Juni 2024, belum ada penambahan kapasitas dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang ditargetkan sebesar 49 MW untuk tahun ini. Peningkatan kapasitas terpasang pembangkit listrik ini juga diiringi dengan peningkatan investasi di sektor EBT.
Adapun hingga Juni 2024, realisasi investasi mencapai USD 0,565 miliar atau sekitar 45,9 persen dari target tahunan sebesar USD 1,232 miliar. Target investasi di sektor panas bumi dan berbagai jenis EBT lainnya menjadi bagian terbesar, dengan panas bumi USD 0,64 miliar dan aneka EBT sebesar USD 0,512 miliar. Investasi di bioenergi tercatat USD 0,064 miliar, dan konservasi energi sebesar USD 0,016 miliar.
Arifin menambahkan bahwa peningkatan investasi ini didorong oleh kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan EBT, potensi pasar yang besar, serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya energi bersih.
Meskipun terdapat capaian positif, kontribusi EBT dalam bauran energi nasional masih relatif lambat, diperkirakan hanya sekitar 13-14 persen pada 2025. Arifin memperkirakan penyebab lambatnya capaian disebabkan oleh masih adanya bottleneck.
Dengan upaya yang terus dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, pemerintah berharap dapat mendorong pertumbuhan EBT lebih signifikan lagi di masa mendatang, guna mencapai target-target energi bersih dan berkelanjutan yang telah ditetapkan. (Hartatik)