Jakarta – Upaya Indonesia mengarusutamakan ekosistem pesisir dalam kebijakan iklim nasional memasuki babak baru di COP30 Belém, Brasil. Dalam forum global tersebut, pemerintah memperkenalkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru Indonesia, sebuah dokumen strategis yang menempatkan mangrove dan ekosistem pesisir lainnya sebagai bagian integral dari Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Pemerintah menegaskan bahwa laut dan pesisir akan menjadi bagian dari fondasi mitigasi dan adaptasi jangka panjang. Menteri Lingkungan Hidup/BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menekankan bahwa penyelarasan lintas ekosistem kini menjadi prinsip utama perencanaan nasional. “Peluncuran dokumen ini menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam menghubungkan aksi darat dan laut. Melalui penguatan ilmu pengetahuan, kebijakan strategis, dan kerja sama internasional, Indonesia ingin memastikan bahwa kontribusi karbon biru dapat terintegrasi secara utuh dalam sistem nilai ekonomi karbon dan pasar karbon nasional,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 18 November.
Integrasi karbon biru dalam SNDC telah disampaikan kepada Sekretariat UNFCCC dan menjadi tonggak penting dalam reposisi Indonesia sebagai negara yang mengandalkan kekuatan ekosistem mangrove, padang lamun, serta rawa asin pasang surut. Ketiga ekosistem ini kini diakui sebagai elemen strategis yang bukan hanya menyimpan karbon dalam jumlah besar, tetapi juga memperkuat ketahanan pesisir dan ekosistem laut. Kebijakan tersebut sekaligus mempertegas implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sesuai Perpres Nomor 110 Tahun 2025.
Peta jalan ini disusun melalui kolaborasi lintas kementerian—Kementerian Kelautan dan Perikanan, KLH/BPLH, serta Kementerian Kehutanan—dengan dukungan Global Green Growth Institute (GGGI) dan pendanaan dari Pemerintah Kanada. Dokumen tersebut disiapkan sebagai kerangka pelaksanaan program karbon biru berintegritas tinggi di seluruh wilayah pesisir Indonesia, sekaligus memastikan penyelarasan dengan agenda FOLU Net Sink 2030.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menilai bahwa peluncuran peta jalan ini memberikan arah yang lebih jelas bagi integrasi sektor kelautan dalam arsitektur iklim nasional. “Ekosistem karbon biru adalah aset iklim yang sangat berharga bagi Indonesia. Peta jalan ini bukan hanya panduan kebijakan, tetapi kerangka aksi yang menghubungkan sains, kebijakan, dan pendanaan untuk memastikan kualitas dan integritas ekosistem karbon biru dalam sistem nilai ekonomi karbon nasional,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa penyatuan pandangan terhadap tiga ekosistem karbon biru dalam satu sistem pesisir–laut akan memberikan manfaat luas, mulai dari perlindungan keanekaragaman hayati hingga peningkatan peluang ekonomi berkelanjutan berbasis laut.
Dalam momentum COP30, Indonesia menegaskan bahwa kebijakan karbon biru bukan hanya konsep teknis, tetapi bagian dari kepemimpinan global dalam menghadapi krisis iklim. “Perjuangan global menghadapi perubahan iklim membutuhkan kepemimpinan, kebijakan yang konsisten, dan solidaritas nyata. Dari hutan dan laut Indonesia, kami menawarkan solusi iklim untuk masa depan yang lebih berkelanjutan,” ujar Trenggono. (Hartatik)
Foto banner: Khun Ta/shutterstock.com


