Jakarta – Ketidaksetaraan gender dan kerentanan sosial di pesisir utara Pulau Jawa kini menghadapi tekanan baru: perubahan iklim. Hasil penelitian kolaboratif Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Griffith University dan Universitas Diponegoro menemukan bahwa kenaikan permukaan laut serta penurunan muka tanah membuat perempuan dan anak semakin terdesak dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mempertahankan kualitas hidup mereka.
Dalam media gathering KONEKSI, Selasa, 28 Oktober, dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan di empat wilayah rentan—Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan Demak. Penelitian ini melibatkan ratusan responden yang mayoritas perempuan dan anak, untuk menggali secara langsung bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi sumber penghidupan hingga keamanan mereka.
Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, Laely Nurhidayah, menjelaskan bahwa perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak karena memikul beban ganda: tetap berperan dalam merawat keluarga sambil mencari penghasilan. Ketika lahan pertanian ataupun tambak tenggelam terkena rob, perempuan harus beradaptasi dengan bekerja serabutan demi bertahan hidup.
“Sekitar 80 persen perempuan yang kami wawancarai melaporkan pendapatan mereka turun akibat perubahan iklim,” kata Laely. Perubahan drastis dalam ekonomi lokal menyebabkan pergeseran pekerjaan besar-besaran dari sektor pertanian dan perikanan ke pekerjaan informal yang lebih tidak pasti.
Sementara itu, anak-anak menghadapi ancaman yang tak kalah serius. Akses pendidikan terganggu, risiko eksploitasi meningkat, dan migrasi paksa menjadi pilihan banyak keluarga. Bahkan, 88 persen anak responden melaporkan pernah mengalami banjir di rumah, dan hampir 12 persen merasakan banjir setiap hari.
Rumah rusak, kemiskinan memburuk, migrasi terpaksa
Tak hanya hilangnya mata pencaharian, tempat tinggal pun ikut menjadi korban. Penelitian mencatat 75 persen rumah warga pesisir mengalami kerusakan dan membutuhkan rehabilitasi. Banyak keluarga tidak memiliki sumber daya untuk memperbaikinya, sehingga ketidakpastian hidup semakin mengancam.
Kondisi serba sulit ini memicu peningkatan kemiskinan dan perpindahan penduduk ke wilayah lain. Mereka yang tetap tinggal harus menghadapi kemungkinan kehilangan semakin banyak lahan akibat intrusi air laut yang terus terjadi.
Para peneliti mengingatkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mengakui bencana iklim sebagai ancaman sosial jangka panjang.
“Kenaikan permukaan laut belum dikategorikan sebagai bencana dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana,” ungkap Laely. Akibatnya, program penanganan yang dijalankan pemerintah masih didominasi solusi infrastruktur seperti pembangunan tanggul tanpa mengatasi akar permasalahan sosial dan gender.
Tim peneliti mendesak revisi kebijakan agar memasukkan aspek migrasi paksa dan dampak sosial ekonomi perubahan iklim pada perempuan dan anak. Selain itu, diperlukan Perlindungan sosial bagi perempuan pekerja informal, akses pendidikan berkelanjutan untuk anak terdampak, penyediaan hunian aman dan inklusif, penguatan hukum serta pemberdayaan ekonomi keluarga pesisir
Kebijakan yang adaptif dan terintegrasi lintas sektor dinilai menjadi kunci untuk memutus lingkaran kerentanan yang terus mengancam masa depan generasi pesisir utara Pulau Jawa. (Hartatik)
Foto banner: Penanaman di pantai utara Jawa. 2022. nsh/tanahair.net
 
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 
