Jakarta – PT Pertamina International Shipping (PIS), subholding Pertamina di sektor pelayaran, menyatakan telah menyiapkan langkah antisipatif guna menjaga kelangsungan pengiriman energi ke dalam negeri. PIS dalam pernyataan Selasa, 24 Juni, menyatakan telah melakukan pengawasan ketat terhadap armada kapal yang beroperasi di kawasan rawan konflik serta menyiapkan rute alternatif jika jalur utama melalui Selat Hormuz terganggu akubat meningkatnya ketegangan geopolitik yang terus meningkat di kawasan Timur Tengah.
Bagi Indonesia, yang masih mengandalkan impor minyak mentah dari kawasan tersebut, ancaman ini bukan sekadar wacana, tetapi sinyal bahaya nyata terhadap keamanan energi nasional.
Muhammad Baron, Corporate Secretary PIS mengatakan pengalihan rute berpotensi meningkatkan biaya logistik dan waktu tempuh, terutama jika kapal harus memutar jauh dari jalur reguler. “Kami belum bisa menghitung secara pasti dampak biaya, tapi opsi-opsi tersebut kami siapkan untuk menjaga kelangsungan pasokan,” tegasnya.
Selat Hormuz merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, menyalurkan sekitar 20 persen dari total pasokan minyak global, atau setara 17 juta barel per hari. Sebagian besar impor minyak mentah Indonesia dari Timur Tengah juga melewati selat sempit tersebut karena menawarkan rute tercepat dan paling efisien secara logistik.
Langkah antisipasi ini sejalan dengan kekhawatiran para pengamat energi. Arcandra Tahar, mantan Wakil Menteri ESDM, menyebut bahwa jika penutupan Selat Hormuz benar-benar terjadi, harga minyak global bisa melonjak tajam.
“Ada yang memprediksi harga minyak mentah bisa menembus USD 90 per barel, bahkan lebih, karena gangguan ini bukan sekadar soal produksi, tetapi menyangkut keamanan rantai pasok,” ujarnya melalui akun media sosial pribadinya.
Arcandra menambahkan bahwa saat ini negara-negara pengimpor energi, termasuk Indonesia, harus mulai serius memikirkan aspek keamanan energi (energy security) yang tidak hanya bergantung pada keberadaan cadangan atau pasokan, tetapi juga pada kelangsungan jalur distribusi global.
“Institusi negara harus hadir, tidak hanya dalam mencari sumber energi, tetapi juga memastikan rantai pasoknya tetap utuh dalam kondisi global yang tidak menentu,” katanya menegaskan.
Selain jalur alternatif, perusahaan juga memperkuat koordinasi dengan mitra global, termasuk penyedia kapal dan terminal, guna mengantisipasi hambatan logistik jika konflik meningkat. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)