Pertamina butuh investasi 90 Miliar USD untuk transisi energi

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. (Sumber: Pertamina)

Yogyakarta – Pertamina membutuhkan investasi sebesar USD 90 miliar atau setara Rp 1.260 triliun untuk mempercepat transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Investasi kerja sama itu dibutuhkan Pertamina selama lima tahun ke depan.

“Di negara mana pun tidak ada yang mengerjakan (transisi energi) sendiri. Jadi kuncinya adalah kolaborasi dalam hal teknologi dan pendanaan,” ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati usai perhelatan Task Force Energy, Sustainability, and Climate B20, di Prambanan Jazz Café, Yogyakarta, Jumat (25/3) malam.

The Business 20 atau B20 adalah komunitas bisnis internasional di negara-negara anggota G20. Sektor ini dituntut mendukung pemenuhan masing-masing negara mencapai komitmen net zero emission yang telah ditetapkan.

Nicke melanjutkan bahwa kolaborasi sangat penting dalam upaya mempercepat transisi energi. Sejauh ini, kerja sama transisi energi yang sudah terjalin adalah Pertamina dengan Jepang Group (Janus, JGC Corporation, J-Power) melalui Kesepakatan Kerjasama Studi atau joint study agreement (JSA). Kesepakatan tersebut untuk mengkaji penerapan Carbon Capture, Utilization and Storage and Enhanced Gas Recovery (CCUS/EGR) pada proyek lapangan Gundih di Cepu, Jawa Tengah. Adapun kerja sama ini untuk mengurangi emisi karbon.

Pertamina menargetkan potensi pengurangan CO2 sebanyak 300.000 ton per tahun dari total 3 juta ton CO2 selama 10 tahun. Pengurangan tersebut juga berpotensi memberi kontribusi pada peningkatan produksi gas. Pasalnya, CO2 tersebut akan tersimpan di formasi bawah permukaan dan akan memberikan manfaat meningkatkan pemulihan gas. Selanjutnya, CO2 yang tersimpan akan dinyatakan sebagai carbon credit lalu dibagi untuk pihak Pemerintah Indonesia dan Jepang. Selanjutnya, Pertamina menjajaki kerja sama dengan ExxonMobil terkait teknologi carbon capture utilization & storage (CCUS) untuk mengurangi emisi karbon di proyek gasifikasi batu bara dan meningkatkan produksi hulu migas melalui CO2 enhanced oil and gas recovery.

“Carbon capture tidak semua negara di Asia memiliki reservoir. Kita ini kan ada sumur-sumur tua yang sudah dikeruk isinya, sehingga reservoir yang kosong nantinya bisa menjadi storage untuk carbon,” ungkap Nicke, Chair of Task Force Energy, Sustainability, and Climate B20.

Menurutnya, carbon capture itu tentunya bisa menjadi perubahan global terkait perdagangan karbon.

Agenda Paralel

Pertamina telah memiliki tiga agenda paralel dalam mengakselerasi transisi energi. Pertama dari sisi Grand Strategi Energi Nasional di mana energi fosil masih dipertahankan sampai 2050, meski porsinya mengecil.

“Jadi bukan berarti ketika transisi energi, minyak selesai. Jadi yang harus dilakukan adalah kita melakukan pengembangan hilirisasi. Ini perlu teknologi dan pendanaan,” imbuhnya.

Pertamina tetap akan melakukan pengembangan energi fosil sesuai target Grand Energi Nasional, tapi dengan cara yang lebih hijau, seperti green operation.

“Kita lakukan Carbon Capture Utilization and Storage atau CCUS, di mana energi gas buang yang selama ini dibuang begitu saja diproses lagi menjadi energi.”

Dalam dua tahun terakhir, Pertamina telah memroses energi gas buang menjadi listrik, sehingga mampu menurunkan 27 persen emisi karbon dari target nasional 25 persen. Selanjutnya, program mandatori pemanfaatan biodiesel sebagai upaya untuk menurunkan emisi karbon. Bahkan program mandatori B30 atau pencampuran 30% biodiesel dengan 70% minyak solar diperkirakan dapat menurunkan emisi hingga 21 juta ton CO2

Kedua transisi bahan bakar menuju energi hijau. Pertamina akan mengembangkan infrastruktur gas, karena kunci dari pengembangan gas adalah infrastruktur.

“Gas itu tidak mudah untuk ditransportasikan. Untuk Indonesia tengah dan timur yang pulaunya banyak, kita harus membangun virtual pipeline di mana gas diconvert jadi LNG. Jadi infrastruktur hulu dan hiir gas kita bangun, agar gas ini kemudian bisa diakses seluruh masyarakat,” terang Nicke.

Lalu ketiga adalah mengembangkan bioenergi berbasis sawit (B30) sebagai energi baru. Pertamina sudah uji coba penggunaan biodiesel pada kendaraan bermotor dari B30 menjadi B40. B30 merupakan biosolar di mana campuran 30 persen fatty acid methyl ester (FAME) dan 70 persen campurannya adalah solar. Sedangkan B40 merupakan biodiesel campuran minyak sawit 40%.

“Secara teknis kilang kita sudah bisa untuk bahan bakar dengan bauran 100% minyak kelapa sawit (B100). Tapi harga sawit masih mahal, kalau kita jual B100 nggak ada yang beli,” tukasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles