Pengamat: Publik harus bersuara, cegah Danantara danai hilirisasi batu bara yang berisiko

Jakarta – Rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) melalui pendanaan dari Danantara menuai kritik tajam dari para pakar lingkungan. Mereka menilai langkah ini bertentangan dengan upaya transisi energi bersih dan berpotensi memperpanjang ketergantungan pada energi fosil yang berbahaya bagi lingkungan.

Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, Senin, 10 Maret, menegaskan bahwa batubara merupakan energi kotor sejak dari proses pertambangan hingga pembakarannya. “Keputusan pemerintah untuk mengalokasikan dana Danantara bagi proyek gasifikasi batubara adalah langkah mundur dalam upaya transisi energi bersih,” ujar Firdaus.

Sebelumnya, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka awal Maret, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan agar proyek gasifikasi batubara kembali dilanjutkan melalui pendanaan Danantara. Proyek ini rencananya akan berlokasi di tiga titik strategis di Sumatera dan Kalimantan.

Namun, dampak lingkungan dari gasifikasi batubara menjadi sorotan utama. Data dari Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkap bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari produksi DME mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan produksi LPG dalam jumlah yang sama. Secara konkret, produksi DME menghasilkan 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun, yang semakin memperburuk krisis iklim.

“Ironisnya, ketika banyak negara mulai mengurangi ketergantungan pada batubara dan beralih ke energi terbarukan, Indonesia justru ingin memperpanjang usia batubara melalui solusi yang tidak berkelanjutan,” lanjut Firdaus. “Ini bukan untuk kepentingan publik, tetapi lebih kepada penyelamatan industri batubara yang mulai ditinggalkan di tingkat global.”

Kritik terhadap kebijakan ini juga mencermati adanya kepentingan politik dan bisnis di balik keputusan tersebut. Firdaus menilai, pemerintah sudah beberapa kali menunjukkan keberpihakannya pada industri batubara. “Sebelumnya, pemerintah juga membagi-bagikan konsesi tambang kepada organisasi massa (ormas) Islam, yang menunjukkan kuatnya pengaruh elite energi fosil dalam lingkaran kekuasaan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Firdaus mengajak masyarakat untuk bersikap kritis dan menolak kebijakan yang tidak sejalan dengan upaya transisi energi bersih. “Jika publik tidak bersuara, maka kepentingan segelintir elite akan terus mengorbankan lingkungan dan masa depan rakyat. Sudah saatnya kita berdiri dan menolak pendanaan Danantara untuk proyek yang membahayakan keberlanjutan lingkungan,” tegasnya.

Langkah pemerintah dalam pengembangan energi harus mengarah pada solusi yang berkelanjutan, bukan justru memperpanjang ketergantungan pada energi kotor. Dengan semakin tingginya kesadaran global terhadap dampak buruk batubara, Indonesia seharusnya mengarahkan investasi pada energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles