Jakarta – Konsumsi energi rumah tangga memiliki peran krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut para pengamat. Dengan sekitar 87% kebutuhan energi nasional masih bergantung pada energi fosil, sementara sisanya berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), setiap perubahan dalam pola konsumsi energi dapat berdampak luas terhadap ekonomi nasional.
Pengamat energi dari Reforminer, Komaidi Notonegoro, menekankan bahwa ketergantungan masyarakat pada energi fosil masih sangat tinggi dan sulit untuk digantikan dalam waktu dekat. “Ketika ada perubahan kebijakan seperti pengaturan distribusi LPG 3 kilogram, dampaknya sudah sangat terasa di masyarakat. Jika ada perubahan lebih besar di sektor lain, dampak terhadap fiskal, moneter, dan ekonomi secara keseluruhan akan jauh lebih kompleks,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 25 Februari.
Dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sekitar 54% berasal dari konsumsi energi rumah tangga. Oleh karena itu, gangguan dalam konsumsi energi rumah tangga akan secara langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
“Konsumsi rumah tangga sangat sensitif terhadap inflasi. Jika harga BBM dan LPG naik, inflasi akan meningkat, menyebabkan konsumsi rumah tangga menurun. Jika ini terus berlanjut, target Indonesia Emas 2045 akan semakin sulit dicapai,” jelas Komaidi.
Tantangan utama dalam sektor energi adalah meningkatnya konsumsi yang tidak diimbangi dengan pasokan yang memadai. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2045, Indonesia membutuhkan tambahan energi yang signifikan.
“Setiap pertumbuhan ekonomi 1% memerlukan tambahan energi sekitar 1,5%. Dengan 80% energi kita masih berasal dari fosil, sulit mencapai target pertumbuhan tanpa memperhitungkan peran energi fosil dalam transisi energi,” tambahnya.
Terkait penggunaan EBT, Komaidi mengidentifikasi dua masalah utama yang masih menjadi hambatan, yaitu tantangan teknis dan ekonomi. Dari segi teknis, beberapa jenis EBT masih bergantung pada kondisi cuaca.
“Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hanya bisa memproduksi listrik maksimal antara pukul 10 pagi hingga 2 siang saat musim kemarau. Pada musim hujan atau di daerah dengan curah hujan tinggi seperti Bogor, produksinya tidak optimal. Hal yang sama berlaku untuk pembangkit listrik tenaga air yang produksinya bervariasi antara musim hujan dan kemarau,” paparnya.
Dari segi ekonomi, investasi dalam EBT saat ini masih lebih mahal dibandingkan energi fosil. “Hampir semua bisnis di tahap awal memiliki biaya tinggi, dan ini berlaku untuk EBT. Biaya awal yang besar menyebabkan harga jual listrik dari EBT menjadi lebih mahal dibandingkan energi fosil,” jelas Komaidi.
Dengan tantangan tersebut, diperlukan kebijakan yang lebih realistis dalam transisi energi agar tetap mempertimbangkan ketahanan energi nasional.
“Kita tidak bisa serta-merta mengabaikan energi fosil tanpa solusi konkret untuk menutupi kekurangan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)