Jakarta – Pemerintah perlu segera memobilisasi investasi non-pemerintah dengan menetapkan kebijakan, regulasi, dan ekosistem investasi yang menarik, selain mengoptimalkan pembiayaan public, untuk mencapai target nir emisi pada 2050. Desakan itu muncul saat peluncuran laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) “Indonesia Sustainable Finance (ISFO) 2023”, Rabu (19/10).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengungkapkan, pemerintah perlu melakukan upaya yang transformatif dan masif untuk melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh pada sistem energi dengan menghimpun dana total sekitar USD 1,2 triliun pada 2050. Pasalnya, sesuai kajian IESR dan Universitas Maryland, biaya pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 9,2 Gigawatt (GW) pada periode 2022-2030 membutuhkan dana sekitar USD 4,6 miliar. Selain itu, pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan USD 28 miliar untuk kompensasi aset terbengkalai (stranded asset) dan biaya decommissioning (penutupan) pembangkit.
“Upaya pengakhiran masa operasional PLTU harus dibarengi dengan peningkatan penambahan pembangkit energi terbarukan, penguatan jaringan transmisi, distribusi dan efisiensi energi secara besar-besaran,” ungkap Fabby.
Lebih lanjut, menurutnya, pada periode 2022 – 2023 saja dibutuhkan USD 135 miliar untuk pensiun PLTU, penambahan energi terbarukan, pengembangan transmisi dan distribusi, energy storage, dan efisiensi energi. Sementara, berdasarkan temuan ISFO 2023, porsi anggaran pemerintah hanya akan mampu mengalokasikan 0,83% dari total kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025, jika mengacu pada rata-rata alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM pada 2018-2020 sebesar USD 67 juta per tahun. Farah Vianda, salah satu Penulis ISFO 2023 mengungkapkan tren yang sama juga berlangsung ke tingkat provinsi. Ia mencontohkan Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang paling banyak mendukung pengembangan energi terbarukan, namun keterbatasan fiskal membuat Jawa Tengah hanya mengalokasikan lebih rendah dari 0,1% dari total APBD yang tersedia.
“Hal ini menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mencari pembiayaan di luar APBD. Upaya yang sama juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni dengan memperluas sumber pendanaan untuk menarik investasi di sektor energi terbarukan,” bebernya.
Menyoal pembiayaan transisi energi melalui pajak karbon, Ichsan Hafiz Loeksmanto, penulis utama ISFO 2023, memaparkan meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap and trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim..
“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi dan adaptasi iklim, serta jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” ujar Ichsan.
Menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR dalam ISFO 2023 terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36.95 miliar pada tahun 2025. (Hartatik)