Pemerintah abai terhadap mobilitas warga pesisir Pantura terdampak perubahan iklim

Kondisi sekeliling rumah Pasijah di Dukuh Bedono Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak telah berubah menjadi laut akibat abrasi. (Foto: Hartatik)

Semarang – Pagi sampai siang menjadi waktu tersibuk bagi Pasijah (49). Dengan menggunakan perahu dayung, warga Dusun Rejosari Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak ini harus mengantar jemput kedua anaknya yang masih bersekolah di madrasah.

Sedangkan suaminya, Rokani (55) tengah mencari ikan di laut. Mobilitas ibu empat anak ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan perahu. Sebab untuk menuju jalan raya pantura, akses yang dilewati dari rumah, tak lagi berbentuk jalan beton seperti belasan tahun silam, melainkan kini sudah berubah menjadi laut.

“Dulu Rejosari Senik itu sawah yang subur. Sekira 2007, rob mulai naik dan setahun kemudian sawah berganti dengan tambak,” ujar Pasijah, saat ditemui di rumahnya yang sehari-hari tergenang rob hingga selutut orang dewasa.

Dulu, pada 1970-an, Dusun Rejosari Senik tersebut berjarak hanya sekitar 7 kilometer dari bibir pantai. Kondisi dusun berubah drastis setelah dilanda abrasi. Benar-benar terputus dari daratan. Dan kini sekelilingnya menjadi hutan mangrove, menyatu dengan taman konservasi mangrove.

Bahkan keganasan abrasi masih terlihat hingga sekarang. Itu terlihat dari rumah semi panggung berukuran sekira 15 meter x 7 meter yang dihuni keluarga Pasijah. Begitu pintu dibuka, pemandangan teras rumah berubah menjadi rawa. Di kanan kiri cuma hutan bakau lebat.

Sekeliling rumah pun telah berubah menjadi laut, sehingga akses satu-satunya hanya menggunakan perahu. Sementara sejumlah bangunan rumah, dan tempat ibadah di sana telah ditinggalkan warganya sejak 2006, lantaran tenggelam karena abrasi. Sedikitnya ada 206 kepala keluarga pernah tinggal di dusun tersebut. Kini bangunan-bangunan tersebut nampak kosong dan rusak. Tidak sedikit bangunan tertimbun lumpur di balik rerimbunan hutan mangrove. Setidaknya ada sekitar 273 bidang tanah milik warga di tiga desa di pesisir Sayung, Demak, hilang akibat abrasi.

Sementara ratusan warga di dusun itu lebih memilih meninggalkan rumah mereka dan pindah ke lain desa. Hanya keluarga Pasijah yang masih bertahan tinggal. Pasijah mengatakan, alasan masih bertahan semata karena faktor ekonomi.

“Pindah tidak ada uang untuk membangun rumah baru,” tukasnya.

Meski bertahan, keluarga Pasijah tidak bisa berdiam diri melihat abrasi menenggelamkan rumah mereka. Dalam setahun, mereka meninggikan rumah bisa hingga tiga kali. Tentu tidak sedikit uang yang harus disisihkan.

“Untuk beli material bambu saja habis Rp 1,5 juta, belum material bangunan lainnya,” terang Pasijah.

Mengubur impian

Hal serupa juga terjadi di Dusun Simonet, Desa Wonokerto Kulon, Kabupaten Pekalongan. Dari semula 67 KK (265 jiwa), kini hanya tujuh keluarga yang masih bertahan. Rob dan abrasi yang semakin parah membuat warga memilih pindah mulai 2019.

Banjir rob menggenangi bangunan-bangunan di dusun yang dulu terkenal dengan produksi melatinya. Garis pantai yang dulu berjarak 1 km dari rumah warga telah terkikis. Kini, rumah mereka tepat berada di bibir pantai.

Banjir rob serta abrasi yang terjadi lagi pada 2020 dan 2021 membuat warga harus mengubur impian untuk kembali ke rumah. Saat ini, banyak warga Dusun Simonet berpencar ke berbagai wilayah karena desa mereka tenggelam. Meski dusun ini terancam ‘hilang’ dari peta, tidak ada kejelasan seputar program relokasi warga dari pemerintah.

Muhammad Soufi Cahya Gemilang Research Officer, Resilience Development Initiative (RDI) menilai, risiko gelombang migrasi yang membesar ini tidak berbanding lurus dengan kebijakan maupun program yang memadai.

“Saya mendapati persoalan perpindahan warga tidak termuat dalam kebijakan serta aturan di Indonesia. Ketiadaan regulasi ini akhirnya berdampak pada upaya penanggulangan migrasi di lapangan dan hak-hak masyarakat yang tidak terpenuhi,” beber Muhammad, Senin (19/6).

Lebih lanjut, menurutnya, mobilitas warga akibat perubahan iklim masih belun hadir di dalam kerangka kebijakan baik dalam Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) maupun Peta Jalan Target Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (Roadmap NDC) yang asing-masing terbit pada 2014 dan 2016. Padahal dokumen RAN-API berfungsi untuk mendetailkan strategi dan langkah intervensi terhadap dampak perubahan iklim dari berbagai sektor. Sementara itu, Roadmap NDC adalah dokumen referensi target dan strategi pelaksanaan adaptasi perubahan iklim.

“Sebagaimana yang disebutkan dalam laporan para peneliti yang mengkaji RAN-API, dokumen tersebut masih berfokus di dimensi teknis dan fisik (seperti infrastruktur) dari adaptasi terhadap perubahan iklim,” ungkapnya.

Migrasi iklim

Isu migrasi iklim juga belum banyak dibahas dalam pembahasan ilmiah di Indonesia. Hanya ada satu mengenai fenomena ini, yaitu di Lombok dan satu studi yang berupaya mempelajari pola migrasi iklim di Indonesia. Studi yang kedua sendiri masih menggunakan data pengungsi bencana alam dari Internally Displacement Monitoring Center (IDMC) yang tidak spesifik membedakan tipe bencana penyebab relokasi.

Lantas bagaimana dampaknya? Muhammad menyebutkan, ada tiga dampak akibat absennya urusan perpindahan warga dalam kebijakan pemerintah. Pertama, pendekatan yang dipakai dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim masih bersifat lokal. Mayoritas strategi dalam dua kebijakan tersebut masih menekankan kepada bentuk adaptasi yang sifatnya melindungi permukiman. Kebijakan tak berfokus kepada warga yang terdampak dan berpindah.

“Kita bisa melihat program pemerintah pusat seperti Proyek National Capital Integrated Coastal Development di Jakarta dan Proyek Strategis Nasional Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak. Keduanya adalah contoh proyek yang bertujuan melindungi permukiman.”

Proyek pemerintah daerah pun setali tiga uang. Studi dari lembaga riset untuk pembangunan berkelanjutan, BlueUrban (tidak dipublikasi), lanjutnya, pada 2023 di Kabupaten dan Kota Pekalongan menunjukkan bahwa inisiatif pemerintah lokal masih terbatas kepada pembuatan tanggul laut untuk daerah terdampak banjir rob. Strategi serupa juga diterapkan pemerintah Indramayu, Jawa Barat, untuk mengatasi banjir rob di daerah Kandanghaur.

Kedua, ketiadaan fokus soal migrasi iklim berakibat pada absennya rencana sistematis pemberian kompensasi bagi warga terdampak perubahan iklim. Rencana sistematis penting agar warga mendapatkan kepastian kompensasi jika ruang hidup mereka hilang.

Di Pekalongan, pengadaan lahan relokasi bagi warga Dusun Simonet di daerah Teratebang hingga kini belum ada kemajuan. Sementara itu, di Demak, relokasi warga terdampak abrasi masih terbatas pada satu dusun, belum menjangkau penduduk dusun lainnya.

Ketiga, belum adanya upaya pemberdayaan masyarakat yang berpindah. Upaya pemberdayaan ini sangat penting. Migrasi iklim berpotensi menciptakan kerentanan baru karena warga terpaksa meninggalkan sumber penghidupan mereka.

Riset BlueUrban di Pekalongan menemukan warga Simonet kehilangan akses ke mata pencaharian, umumnya sebagai sebagai petani melati atau nelayan muara, karena desa mereka tenggelam. Selain hilangnya mata pencaharian, kenaikan muka air laut juga membuat tanah sejumlah warga berstatus musnah. Sialnya, Peraturan Presiden No 52 Tahun 2022 hanya mengatur pemberian kompensasi sekitar 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Di Demak, besaran kompensasi ini menuai protes dari banyak warga karena jumlahnya yang dianggap terlalu kecil.

Pemerintah perlu menyertakan aspek perpindahan warga dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim. Migrasi seharusnya bagian dari upaya adaptasi masyarakat terhadap peralihan bentang alam akibat perubahan iklim.

Pengakuan status

Pemerintah dapat melakukan beberapa langkah untuk menghadapi migrasi iklim. Pertama, pengakuan status “pengungsi” bagi para migran iklim baik yang bermigrasi karena guncangan maupun tekanan. Sebab keduanya berbeda. Migrasi karena guncangan terjadi secara cepat sebagai respons seseorang terhadap bencana (kerap disebut “pengungsi”).

Sementara itu, perpindahan akibat tekanan timbul secara perlahan karena suatu faktor yang secara langsung ataupun tidak langsung mengancam kehidupan seseorang (misalnya kehilangan sumber penghidupan).

Secara formal, para migran iklim yang berpindah perlahan seringkali tidak dipandang sama dengan mereka yang berpindah akibat bencana cepat (guncangan). Padahal, tak mudah menyebut migrasi seseorang ataupun komunitas karena guncangan maupun tekanan. “Berpindah” adalah keputusan yang kompleks.

Fenomena ini juga terlihat pada studi tim BlueUrban di Pekalongan. Bencana hebat yang terjadi pada akhir 2019 memang memaksa banyak warga di Dusun Simonet untuk langsung berpindah. Namun, warga Desa Api-api–berada di sebelah Simonet pun banyak bermigrasi keluar karena didorong oleh hilangnya penghasilan akibat abrasi.

Untuk mengatasi kerumitan ini, Indonesia dapat mencontoh Argentina. Negara ini mengumumkan komitmen untuk memfasilitasi migrasi yang teratur, aman, dan massal kepada warganya yang terdampak perubahan iklim. Mereka juga memberikan perlindungan sosial bagi “migran iklim” baik dari dalam maupun luar negeri yang belum diakui sebagai pengungsi oleh hukum internasional. Kedua, pemerintah dapat memasukkan aspek migrasi iklim ke dalam Rencana Adaptasi Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Pemerintah Togo dan Ghana sudah menempuh langkah tersebut dengan menjadikan migrasi iklim sebagai salah satu prioritas adaptasi. Masuknya migrasi ke dalam rencana adaptasi nasional membuat mereka mampu memberikan sumber daya memadai untuk merumuskan upaya perlindungan, relokasi sistematis, dan program pemberdayaan para migran.

Ketiga, penguatan kapasitas pemerintah lokal di dalam merespons migrasi iklim. Penguatan kapasitas harus diarahkan untuk proses analisis permasalahan di lapangan dan pengembangan solusi yang tidak bersifat lokal (misalnya hanya di suatu dusun).

Pada akhirnya, pemerintah daerah menjadi pemangku kepentingan utama di dalam penanganan aspek ini. Sebab, mereka mengetahui kebutuhan jangka panjang dan sumber daya yang mampu dikerahkan di daerah masing-masing untuk menghadapi migrasi iklim.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles