Pemerhati energi: RUU EBET, RPP KEN hambat transisi energi berkeadilan

Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) melontarkan kritik keras terhadap Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Mereka menilai kedua regulasi ini tidak sejalan dengan prinsip transisi energi berkeadilan dan justru berpotensi menghambat pencapaian target bauran energi terbarukan.

Salah satu poin krusial yang disorot adalah penurunan target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN dari 23 persen pada tahun 2025 menjadi 19-22 persen pada tahun 2030. Angka ini jauh di bawah rekomendasi global dan studi IESR yang menyatakan bahwa Indonesia perlu mencapai 80 persen bauran energi terbarukan pada tahun 2040 untuk mencapai dekarbonisasi menyeluruh.

“Penurunan target ini menunjukkan kurangnya komitmen dan urgensi pemerintah dalam transisi energi dari fosil ke terbarukan,” ujar Verena Puspawardani dari Koaksi Indonesia, dalam siaran pers, Selasa, 2 Juli.

Kekhawatiran lain adalah RUU EBET dan RPP KEN masih mengakomodasi kepentingan energi padat karbon seperti gas, nuklir, dan batubara.

“RUU EBET sarat kepentingan yang mendorong energi fosil dan berisiko tinggi,” kata Verena.

Sementara itu, Pengkampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, menambahkan bahwa RUU EBET dan RPP KEN juga membuka ruang bagi pemanfaatan energi berbasis lahan dalam skala besar, khususnya biomassa, yang dikhawatirkan dapat memicu perampasan lahan.

“Ketiadaan aspek keadilan juga menjadi sorotan utama,” tegas Hadi.

“Kedua regulasi ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dari pengelolaan energi, termasuk energi terbarukan, dan memberikan kemudahan bagi penyediaan lahan yang berpotensi memicu perampasan.”

OMS mendesak pemerintah untuk lebih ambisius dalam transisi energi dengan fokus pada energi terbarukan dan mengedepankan prinsip keadilan. Mereka juga meminta agar RUU EBET dan RPP KEN direvisi untuk selaras dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.

“Kerusakan alam dan kepunahan manusia tidak dapat dinegosiasi,” kata Hadi.

“Transisi energi harus berlandaskan pada keadilan dan memastikan pemenuhan hak masyarakat dan lingkungan.” (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles