Pemanfaatan energi surya dan angin RI di bawah ASEAN

Jakarta – Organisasi think tank energi global Ember dalam laporan terbaru mengenai status perkembangan energi terbarukan di negara-negara ASEAN bertajuk “Unleashing Solar and Wind in ASEAN”, yang dirilis, Kamis (7/7), menyatakan bahwa dibalik energi surya dan angin yang melimpah di Indonesia, pemanfaatannya hanya sekitar 0,2 persen dari total pembangkitan listrik pada tahun 2021, jauh di bawah rata-rata ASEAN sebesar 4 persen dan global 10 persen.

Bahkan, dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru hanya menargetkan peningkatan porsi ini menjadi 2 persen pada tahun 2030. Masih dalam dokumen PLN 2021-2030, Indonesia berencana menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga surya sebesar 4,68 gigawatt (GW) dan tenaga bayu (angin) 0,6 GW pada tahun 2030.

Analis Kelistrikan Asia Ember, Achmed Edianto mengatakan, Pemerintah Indonesia harus memaksimalkan energi matahari dan angin, seperti yang dilakukan oleh China, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia. Karena harga bahan bakar fosil melambung tinggi, harga energi surya dan angin tetap rendah dan menyediakan energi lokal yang terjangkau.

“Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030,” ujar Achmed.

Energi surya dan angin akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan dunia di masa depan, tetapi rencana kelistrikan di negara-negara ASEAN saat ini tidak mencerminkan hal tersebut. Laporan Net Zero IEA menunjukkan 40 persen pasokan listrik global harus berasal dari surya dan angin pada tahun 2030. Rencana pembangunan energi surya dan angin yang lebih ambisius di ASEAN diperlukan untuk menyelaraskan dengan tujuan 1,5 derajat.

Berdasarkan studi itu, di antara 10 negara anggota ASEAN, lima negara yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam (ASEAN 5), menyumbang 89 persen dari total pembangkit listrik di ASEAN. Dalam laporannya, dikatakan bahwa porsi pembangkit listrik tenaga surya dan angin pada 2030 akan menjadi yang terendah di antara ASEAN 5.

Proyeksi laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia adalah salah satu yang tertinggi, sebesar 4,9 persen per tahun. Dengan laju seperti ini, hanya 5 persen dari peningkatan permintaan tersebut akan bisa dipenuhi oleh matahari dan angin.

“Namun, pada 2030, dokumen-dokumen rencana energi terbaru yang dikeluarkan oleh ASEAN 5 hanya akan meningkatkan pangsa tenaga surya dan angin hingga 11 persen dari total pasokan listrik kawasan,” tulis laporan tersebut.

Pada 2030, Vietnam akan menghasilkan 18 persen listrik dari tenaga matahari dan angin, Filipina 16,5 persen, dan Thailand 9,6 persen. Sementara Malaysia dan Indonesia masing-masing hanya akan mencapai 3,4 persen dan 2 persen.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa pertumbuhan energi bersih tidak sejalan dengan permintaan listrik, yang kemudian mengarah pada penggunaan bahan bakar fosil yang lebih banyak. Energi bersih hanya memenuhi 39 persen kenaikan permintaan listrik di lima negara pembangkit listrik terbesar di ASEAN dari 2015 hingga 2021, dan 48 persen dipenuhi dengan bahan bakar fosil. Oleh karena itu, emisi CO2 sektor listrik di negara-negara ini meningkat sebesar 21 persen.

Dilaporkan juga bahwa energi surya dan angin hanya menghasilkan 4 persen listrik ASEAN tahun lalu, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti China (11 persen) dan India (8 persen). Hanya Vietnam (11 persen) yang melebihi rata-rata dunia dalam hal penggunaan energi surya dan angin, di mana pada tahun 2021, untuk pertama kalinya, dunia menghasilkan 10 persen listriknya dari energi surya dan angin. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles