Jakarta – Meski potensi sumber energi baru terbarukan Indonesia melimpah, namun pemanfaatannya masih sangat minim yakni hanya sekitar 0,3 persen. Kepala Sub Direktorat Keteknikan dan Lingkungan Aneka EBT, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Martha Relitha Sibarani menyampaikan, Minggu (26/6), Indonesia memiliki lima sumber energi baru dan enam sumber energi terbarukan.
“Tujuh sumber energi baru terbarukan ini meliputi panas bumi, air, bioenergi, surya, angin, arus dan gelombang laut. Tapi hanya 0,3 persen potensinya yang diembangkan,” jelas Martha dalam webinar.
Sementara dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dua minggu lalu (14/6), telah disetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) menjadi RUU usulan DPR RI. Keputusan itu ditetapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Paulus.
Rencananya RUU EBT ini akan disahkan sebelum acara puncak KTT G20 di Bali pada November mendatang. Setelah dibawa ke rapat paripurna, Komisi VII DPR akan segera menyampaikan draf RUU EBT ke Presiden Joko Widodo.
Dalam draf RUU EBT, sumber energi baru yang tertulis pada pasal 9 mencakup sumber energi nuklir, hidrogen, gas metana batubara, batu bara tercairkan, dan batubara tergaskan. Sementara itu, sumber energi terbarukan mencakup sumber energi panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian dan perkebunan, limbah atau kotoran hewan ternak, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Adapun sesuai pasal 36 RUU EBT, pengusahaan energi terbarukan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, kegiatan industri, dan transportasi.
Rendahnya pemanfaatan EBT
Martha menjelaskan rincian pemanfaatan potensi energi terbarukan di tanah air, yang bersumber dari energi baru dan terbarukan tersebut. Sesuai data per Desember 2021, Indonesia menyimpan 3.686 Giga Watt (GW) potensi energi terbarukan, atau sekitar 3.686.000 Megawatt (MW). Sedangkan pemanfaatannya baru sekitar 11.585 MW.
Ia memisalkan potensi energi surya yang disimpan Indonesia sebagai negara khatulistiwa menyimpan potensi 3.295 GW energi surya yang berasal langsung dari panas matahari. Sayangnya, itu masih termanfaatkan sangat minim, 217 MW.
Selain cahaya matahari, Nusantara juga dilimpahi sumber energi bayu atau angin yang besar. Adapun potensinya untuk jadi sumber energi sebesar 155 GW, namun baru termanfaatkan 154 MW saja.
“Potensi angin terutama terdapat di NTT, Kalsel, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Papua,” imbuh Martha.
Dukungan insentif EBT hanya satu persen
Selama empat tahun atau sejak 2016 hingga 2020, dukungan pemerintah terhadap EBT hanya sebesar satu persen dari total insentif yang diberikan untuk sektor energi mencapai Rp.225 triliun. Dari jumlah itu, dukungan terbesar dikucurkan untuk insentif bahan bakar fosil mencapai Rp1.153 triliun.
“Jadi total insentif untuk mendukung sektor energi bahan bakar fosil mencapai 94 persen,” ungkap Senior Policy Advisor and Lead The International Institute for Sustainable Development (IISD), Lourdes Sanchez dalam Webinar bertajuk Indonesia’s Energy Support Measures: Shifting Support From Fossil Fuels to Clean Energy, Rabu (22/6).
Menurut Sanchez, insentif bahan bakar fosil itu disalurkan untuk minyak dan gas 38,8 persen, batu bara 18 persen, dan listrik 37,3 persen. Insentif untuk bahan bakar fosil tersebut naik 30 persen menjadi Rp 246 triliun. Jika dirinci, insentif untuk listrik berbasis bahan bakar fosil Rp112 triliun, sektor migas Rp 74 triliun, dan batubara Rp 61 triliun.
Insentif yang diberikan untuk mendukung bahan bakar fosil ini paling besar dibandingkan dengan biaya yang dikucurkan untuk sumber energi lain. Adapun insentif untuk sumber energi lainnya seperti bahan bakar nabati hanya 5% atau Rp 61 triliun, dan industri baterai listrik diperkirakan hanya Rp19 miliar.
“Perkiraan ini tidak sepenuhnya tepat, karena sejumlah besar tindakan dukungan tidak dapat diukur karena keterbatasan data,” imbuh Sanchez.
Menyikapi data tersebut, Sanchez mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk segera mengalihkan insentif dari fosil menuju energi bersih. Jika tidak, maka jangan harap target emisi nol bersih pada 2060 akan tercapai. Sebab dukungan yang tidak proporsional untuk bahan bakar fosil tersebut sama saja menguras anggaran publik, menghambat transisi energi bersih, dan mempercepat perubahan iklim. (Hartatik)
Foto banner: Anton Klyuchnikov/pexels.com