Pemanasan global melelehkan gletser Everest, pacu evolusi

Jakarta – Dampak pemanasan global makin masif dan mengkhawatirkan, termasuk melelehkan gletser Gunung Everest dan evolusi bisa terjadi empat kali lebih cepat dari yang diperkirakan Charles Darwin.

Mencairnya gletser gunung tertinggi di dunia, Everest dapat membahayakan para pendaki, demikian dilaporkan BBC, Selasa (21/6). Pemerintah Nepal sedang menyiapkan pemindahan kamp pendakian di Gletser Khumbu yang pada musim semi dapat digunakan hingga 1.500 orang. Kamp pendakian saat ini terletak pada ketinggian 5.364 meter, sedangkan yang baru bakal didirikan 200 meter atau 400 meter lebih rendah.

Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Nepal, Taranath Adhikari mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan lokasi dan segera memulai konsultasi dengan semua pemangku kepentingan. “Sebuah lokasi baru untuk kamp pendakian ditemukan pada level yang lebih rendah. Di tempat itu tidak ada es yang membeku sepanjang tahun,” ungkapnya. Menurutnya, relokasi menjadi sangat penting bagi kesinambungan bisnis pendakian itu sendiri.

Rencana relokasi kamp pendakian mengikuti rekomendasi sebuah komite yang dibentuk pemerintah Nepal guna memfasilitasi dan memonitor pendakian di kawasan Everest. Sejumlah peneliti mengatakan Gletser Khumbu dan gletser lainnya di Pegunungan Himalaya semakin meleleh dan menipis di tengah pemanasan global. Lelehan es membuat gletser tidak stabil. Bahkan, para pendaki melihat retakan semakin banyak bermunculan di kamp pendakian saat mereka sedang tidur di tenda.

Sebuah kajian pada 2018 yang dilakoni sejumlah peneliti dari Universitas Leeds, Inggris, mendapati bahwa Gletser Khumbu kehilangan 9,5 juta meter kubik air per tahun. Adapun bagian yang dekat dengan kamp pendakian menipis sebanyak 1 meter per tahun.

Pemanasan global bisa picu evolusi empat kali lebih cepat

Hasil studi tentang dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan makhluk hidup yang dilakukan oleh para peneliti dari Australian National University (ANU) menyimpulkan analisis variasi genetik menunjukkan bahwa evolusi bisa terjadi empat kali lebih cepat dari yang diperkirakan Charles Darwin. Dan pemanasan global disebut jadi pemicunya.

Evolusi Darwin merupakan proses di mana seleksi alam menghasilkan perubahan genetik dalam sifat-sifat yang mendukung kelangsungan hidup dan reproduksi individu. Tingkat terjadinya evolusi juga sangat tergantung pada perbedaan genetik antar individu. Semakin banyak perbedaan genetik dalam satu spesies, semakin cepat evolusi dapat terjadi. Itu dikarenakan sifat-sifat tertentu mati dan sifat yang lebih kuat dan dominan terbentuk.

Ahli Ekologi Evolusioner, Timothée Bonnet dari ANU menjelaskan, penelitian tersebut mengambil data dari 19 kelompok binatang liar yang ada di seluruh dunia. Di antara hewan liar yang diteliti adalah burung pipit peri (Malurus cyaneus) di Australia, hyena tutul (Crocuta crocuta) di Tanzania, burung pipit (Melospiza melodia) di Kanada, dan rusa merah (Cervus elaphus) di Skotlandia. Analisis tersebut mengungkapkan bahwa bahan mentah untuk evolusi ini lebih berlimpah sebagai bagian dari dampak perubahan iklim.

“Metode ini memberi kita cara untuk mengukur potensi kecepatan evolusi saat ini sebagai respons terhadap seleksi alam di semua sifat dalam suatu populasi. Dan percepatan evolusi ini sebagai fuel of evolution,” beber Timothée Bonnet dikutip dari Science Alert, Selasa (21/6).

Menurutnya, penelitian itu pertama kalinya kecepatan evolusi dinilai dalam skala besar. Durasi rata-rata setiap studi lapangan adalah 30 tahun, dengan rincian catatan mulai dari kelahiran, kematian, perkawinan dan keturunan. Dari penelitian tersebut diketahui waktu terpendek adalah 11 tahun dan terlama adalah 63 tahun. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pada beberapa spesies, evolusi dapat terjadi hanya dalam beberapa tahun. (Hartatik)

Foto banner: Sulav Loktam/pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles