Jakarta – Perubahan iklim kini menjadi ancaman terbesar bagi petani di Indonesia, mengganggu produksi pangan dan merusak mata pencaharian jutaan orang yang bergantung pada sektor pertanian, menurut para peneliti. Dengan pola cuaca yang semakin sulit diprediksi, petani menghadapi musim tanam yang kacau, serta ancaman kekeringan dan banjir yang lebih sering.
Pakar mitigasi bencana dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Djati Mardiatno, menegaskan bahwa perubahan iklim membawa dampak besar terhadap ketahanan pangan. Kondisi cuaca ekstrem, seperti kemarau panjang dan hujan lebat yang tidak menentu, merusak sistem irigasi dan membatasi akses air yang sangat dibutuhkan oleh petani.
“Perubahan iklim ini adalah musuh terbesar bagi petani kita. Tanpa sistem pengairan yang baik, sawah akan mengering, dan produktivitas pertanian akan terus menurun,” kata Djati dalam keterangan tertulis, Senin, 23 September.
Djati menyarankan pemerintah dan masyarakat untuk segera mencari solusi jangka panjang dalam menghadapi perubahan iklim ini, termasuk dengan membangun sistem irigasi yang lebih tangguh. Sungai, danau, dan embung dapat dimanfaatkan sebagai sumber air alternatif untuk mengairi sawah selama musim kemarau. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mendukung pengadaan pompa air tanah di wilayah-wilayah yang tidak memiliki akses mudah ke sumber air alami.
Ia mencontohkan daerah Gunungkidul, Yogyakarta, sebagai wilayah yang memiliki potensi besar dalam memanfaatkan air tanah.
“Tanah di Gunungkidul memiliki karakteristik geologis yang memungkinkan penyimpanan air hujan dalam jumlah besar di sungai bawah tanah dan gua. Ini bisa menjadi sumber air alternatif yang penting, terutama di musim kemarau,” jelas Djati.
Namun, Djati juga mengakui bahwa pengelolaan air tanah memerlukan biaya yang tinggi, terutama dalam hal pemompaan air dari sungai bawah tanah.
“Sungai-sungai bawah tanah di sana sangat dalam, sekitar 50 hingga 100 meter. Dibutuhkan teknologi pemompaan khusus agar air bisa naik ke permukaan,” tambahnya.
Mitigasi kekeringan
Selain mengandalkan solusi dari pemerintah, Djati mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengatasi dampak perubahan iklim, terutama dalam hal pengelolaan air. Ia menekankan pentingnya sistem penampungan air hujan di rumah-rumah dan lahan pertanian. Dengan menampung air selama musim hujan, masyarakat bisa memanfaatkan air tersebut untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari selama musim kemarau.
“Secara mandiri, masyarakat bisa membuat tandon air hujan yang dapat digunakan untuk mengairi sawah atau untuk kebutuhan rumah tangga setelah dijernihkan. Ini adalah cara sederhana tetapi sangat efektif untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau,” katanya.
Selain itu, Djati menggarisbawahi pentingnya pembangunan embung dan bendungan di wilayah-wilayah yang rawan kekeringan, seperti Nusa Tenggara Timur.
“Daerah-daerah ini harus mempersiapkan diri dengan baik menghadapi musim kemarau. Embung dan bendungan buatan bisa menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan pasokan air tetap tersedia,” jelasnya.
Perubahan iklim tidak hanya mengganggu sistem irigasi tetapi juga mempengaruhi musim tanam. Sebelumnya, perkiraan iklim menunjukkan bahwa puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus hingga September. Namun, dengan adanya perubahan iklim, pola cuaca menjadi tidak stabil, yang dapat menyebabkan hujan turun secara tidak terduga di bulan-bulan kemarau tersebut.
Djati menjelaskan bahwa kondisi ini membuat para petani semakin kesulitan dalam merencanakan musim tanam mereka.
“Hujan yang tidak menentu membuat petani sulit menentukan kapan harus menanam, dan risiko gagal panen semakin tinggi,” ungkapnya.
Dalam jangka panjang, perubahan iklim juga berpotensi memperburuk kerawanan pangan di Indonesia. Tanpa tindakan nyata untuk mengatasi dampak perubahan iklim, sektor pertanian—yang menjadi tulang punggung perekonomian dan ketahanan pangan—akan terus merosot. (Hartatik)