Oligarki membajak agenda transisi energi Indonesia

oleh: Firdaus Cahyadi*

Krisis iklim telah menyebabkan bencana ekologis di berbagai belahan dunia, mengancam seluruh kehidupan di bumi. Karena bahan bakar fosil berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), transisi dunia menuju energi hijau menjadi sangat penting sebagai salah satu upaya mitigasi emisi GRK. Indonesia sebagai pengekspor batu bara besar harus terlibat dalam transisi energi ini.

Tahun lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan mekanisme pendanaan transisi energi baru yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam mekanisme pendanaan ini, beberapa negara anggota G7 akan memobilisasi pendanaan untuk transisi energi Indonesia. JETP akan menyediakan dana sebesar USD 20 miliar atau sekitar Rp 310,4 triliun.

JETP akan secara signifikan mempercepat transisi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca kumulatif lebih dari 300 megaton pada tahun 2030 dan mengurangi jauh lebih dari 2 gigaton pada tahun 2060 dari proyeksi Indonesia saat ini.

Namun pemilik modal di industri energi fosil memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan strategis di Indonesia, termasuk di bidang energi. Mereka adalah oligarki, yang menguasai pemerintahan, siapapun presidennya. Presiden Joko Widodo bukan bagian dari oligarki, tapi mereka ada di lingkarannya.

Pengaruh oligarki di lingkaran presiden tercermin dari kebijakan pemerintah di bidang energi yang berpihak pada kepentingan investor di industri fosil. Sebelum peluncuran JETP, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Ironisnya, isi regulasi tersebut justru memberikan ‘perlindungan’ terhadap batu bara, salah satu sumber energi fosil penyebab krisis iklim.

Perpres No. 112 masih membuka ruang bahkan memberikan kepastian dan perlindungan bagi rencana pembangunan pembangkit baru sebelum tahun 2030, berlawanan dengan semangat transisi energi. Padahal, saat ini pembangkit batu bara telah menyebabkan kelebihan pasokan listrik di Indonesia.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menemukan pada 2021 kapasitas listrik sebesar 349 ribu Gigawatt hour (GWh). Sedangkan listrik yang terjual pada periode tersebut hanya 257 ribu GWh, artinya ada selisih 26,3%. Kelebihan pasokan ini juga memaksa Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengeluarkan peraturan yang membatasi penggunaan energi surya dalam skala rumah tangga.

Pengaruh oligarki di sektor energi juga terlihat pada kebijakan pendanaan bank-bank milik negara (BUMN). Riset bersama 350 Indonesia dan koalisi masyarakat sipil mengungkap bahwa Bank Mandiri telah menyalurkan pinjaman senilai USD 3,19 miliar kepada 10 perusahaan batu bara antara tahun 2015 dan 2021. Bank Rakyat Indonesia (BRI) sejak 2015-2021 telah memberikan pinjaman senilai USD 122,5 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Sementara itu, Bank Negara Indonesia (BNI), memberikan pinjaman sebesar USD 53,4 juta kepada tiga perusahaan batu bara. Padahal seharusnya bank-bank BUMN berada di garda depan pendanaan energi terbarukan, malah tetap memilih mendanai energi batubara kotor.

Tahun 2023, Indonesia akan memasuki tahun politik menjelang pemilihan legislatif dan presiden pada tahun 2024. Di tahun politik, oligarki di Indonesia akan mulai menggelontorkan dana untuk kampanye calon legislatif dan presiden, untuk mengamankan bisnis mereka, termasuk bisnis di fosil. sektor energi.

Tahun politik ini merupakan titik awal masa depan transisi energi termasuk mekanisme JETP. Akankah pemerintahan baru, berdasarkan hasil pemilihan presiden 2024, tetap berkomitmen menjalankan transisi energi saat ini atau membatalkan semua inisiatif transisi energi?

Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan di atas. Mungkin saja pemerintah yang baru terpilih akan lebih berkomitmen pada transisi energi, tapi bisa juga sebaliknya. Semakin banyak dana dari oligarki, pemilik bisnis energi fosil, untuk calon legislatif dan presiden pada pemilu 2024, pengaruh mereka akan semakin kuat pada pemerintahan baru. Artinya, semakin kuat kemungkinan pemerintahan baru pada 2024 akan menolak agenda transisi energi.

Jika pemerintahan berikutnya di tahun 2024 lebih memilih menjalankan agenda oligarki, maka Indonesia akan sulit keluar dari ketergantungannya pada energi fosil. Pemerintahan baru yang sudah dikuasai oligarki tidak boleh langsung menolak agenda transisi energi. Pemerintah baru dapat menawarkan solusi palsu untuk memperpanjang penggunaan energi fosil. Solusi yang salah bisa berupa teknologi batubara bersih.

Lantas, apakah rakyat Indonesia sebagai warga negara akan bungkam ketika agenda transisi energi dibajak oleh para oligarki pemilik industri energi fosil? Rakyat Indonesia tidak boleh diam. Rakyat Indonesia harus selalu mendesak panitia pemilu untuk segera membuat aturan baru untuk membatasi pendanaan dari para oligarki kepada caleg dan calon presiden pada Pemilu 2024.

Rakyat Indonesia harus mulai berkampanye untuk memasukkan transisi energi dalam debat-debat selama kampanye pemilu legislatif dan presiden tahun 2024. Terakhir, rakyat Indonesia harus memilih calon legislatif dan presiden yang berani melanjutkan agenda transisi energi, dan menolak agenda para oligarki.

*Penulis adalah Team Leader 350.org Indonesia

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles