Jakarta – Indonesia dan Kerajaan Norwegia kembali menandatangani nota kesepahaman tentang upaya pengurangan emisi dari kehutanan dan penggunaan lahan lainnya di Jakarta (12/9).
Memorandum of Understanding (MoU) yang baru ditandatangani mengenai Partnership in Support of Indonesia’s Efforts to Reduce Greenhouse Gas Emissions from Forestry and Other Land Use ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide.
Sebelumnya, Indonesia mengakhiri kerjasama dengan Norwegia untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung mulai tanggal 10 September 2021.
Kerjasama yang dinyatakan dalam Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LOI) pada Mei 2010 tersebut menyepakati pendanaan sejumlah USD 1 miliar untuk pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut yang terverifikasi. Kerjasama ini diakhiri Pemerintah RI setelah “tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.”
Setelah penandatanganan MoU, Menteri Siti menegaskan jika MoU ini tidak hanya mencerminkan kemitraan dan kesepakatan berbasis hasil kedua negara. Namun mencakup keterlibatan yang lebih luas terkait isu-isu iklim dan pengelolaan hutan di Indonesia.
“MoU tersebut menekankan pentingnya manfaat yang dapat diberikan secara nyata dan langsung pada masyarakat, serta bagi kemajuan Indonesia sesuai dengan tata kelola dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabel, inklusif, serta partisipatif. Seperti yang tercermin dalam upaya Indonesia untuk terus memperkuat partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan lestari, antara lain melalui penetapan UU Cipta Kerja sebagai dasar hukum,” ujar Menteri Siti.
Rehabilitasi mangrove Teluk Balikpapan
Sebelumnya, Minggu (11/9) Eide melakukan penanaman mangrove di Desa Sotek, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebagai wujud dukungannya bagi rehabilitasi kawasan mangrove di Teluk Balikpapan.
Pada kesempatan itu turut hadir Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Wakil Menteri LHK Alue Dohong, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto, Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK Dyah Murtiningsih.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, kedatangan Menteri Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Espen Barth Eide memberi sinyalemen terkait rencana kerja sama baru antara Norwegia dan Indonesia dalam bidang iklim dan lingkungan khususnya REDD+. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan mangrove terbesar di dunia.
“Desa Sotek menjadi salah satu wilayah kerja BRGM dalam melakukan percepatan rehabilitasi mangrove. Selama di Balikpapan, kita akan berdiskusi tentang rehabilitasi mangrove dan juga tentu tentang Indonesia FOLU Net Sink 2030,” ujar Siti Nurbaya.
Desa Sotek berlokasi di Kecamatan Penajam, Kabupaten PPU. Tahun lalu, luas wilayah yang direhabilitasi mencapai 65 hektar (ha). Ekosistem hutan mangrove di Desa Sotek merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) sehingga rentan mengalami perubahan pemanfaatan.
Sebelumnya, mangrove di Desa Sotek mengalami kerusakan akibat aktivitas penebangan ilegal serta konversi hutan mangrove menjadi tambak. Masyarakat sekitar juga kerap memanfaatkan mangrove dengan mengolah menjadi arang, agar mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Adapun tahun ini, target rehabilitasi mangrove di Desa Sotek direncanakan seluas 20 ha.
Sementara itu, Menteri Espen Barth Eide mengatakan, ekosistem mangrove, serta kawasan hutan pada umumnya memiliki peran yang sangat penting bagi seluruh dunia, sebagai pengendali dampak perubahan iklim dengan menyerap emisi.
Kepala BRGM, Hartono menambahkan, kedatangan Menteri Iklim dan Lingkungan dari Kerajaan Norwegia menjadi bukti dukungan dari dunia Internasional bagi Indonesia untuk merehabilitasi mangrove. “Rehabilitasi berperan besar dalam memulihkan kawasan ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan, sehingga akan dapat menyerap dan menyimpan karbon. Oleh karena itu, ekosistem mangrove memegang peranan kunci dalam pemenuhan target NDC Indonesia,” ungkap Hartono.
Ekosistem mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi lingkungan hidup dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Mangrove memberikan pengetahuan dan kesempatan untuk melihat satwa liar.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling efektif untuk menangkap, menyerap, dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer (blue carbon). Ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih banyak dari hutan terestrial biasa.
“Karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove Indonesia diperkirakan mencapai 3,0 Gton CO2e. Kemudian karbon yang tersimpan di mangrove dan padang lamun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 3,4 Gton CO2e, sekitar 17% dari simpanan blue carbon di dunia,” terangnya. (Hartatik)