NCQG Rp 4.770 triliun dinilai tak memadai, negara berkembang butuh empat kali lipat untuk atasi krisis iklim

Jakarta – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa kebutuhan pendanaan negara berkembang untuk aksi iklim sebenarnya mencapai USD 1,3 triliun atau sekitar Rp 20.670 triliun per tahun.

Konferensi Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, menghasilkan sejumlah kesepakatan baru, termasuk komitmen pendanaan iklim melalui skema New Collective Quantified Goals (NCQG). Namun, angka yang disepakati sebesar USD 300 miliar per tahun atau sekitar Rp 4.770 triliun hingga 2035 dinilai masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim.

“Angka ini menunjukkan bahwa komitmen NCQG masih memiliki kesenjangan besar dalam mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dibutuhkan negara-negara berkembang,” ujar Hanif dalam siaran pers sosialisasi hasil COP29, Selasa, 10 Desember.

Hanif menjelaskan, meskipun NCQG menunjukkan peningkatan signifikan dari komitmen sebelumnya, banyak negara berkembang merasa keputusan tersebut belum cukup ambisius. “Beberapa negara, termasuk India, secara resmi menyatakan keberatan terhadap keputusan ini di pleno terakhir. Mereka menilai sumber dan cakupan pendanaan masih belum memenuhi kebutuhan nyata negara-negara berkembang,” tambah Hanif.

Selain NCQG, COP29 juga menghasilkan sejumlah kesepakatan penting lainnya. Salah satunya adalah penguatan program mitigasi melalui Sharm el-Sheikh Mitigation Ambition and Implementation Work Program dan komitmen adaptasi global melalui Global Goal on Adaptation.

“Indonesia menyambut baik penguatan kerangka kerja adaptasi ini, tetapi kita juga harus memastikan bahwa pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi tersedia dalam skala besar dan tepat waktu,” jelas Hanif.

Laporan COP29 juga menyoroti pengoperasian Article 6 of the Paris Agreement tentang mekanisme kerja sama, termasuk perdagangan karbon internasional. Indonesia, menurut Hanif, akan mengoptimalkan peluang ini. “Kita berkomitmen untuk memperkuat perdagangan karbon sambil mencegah potensi ‘junk credit’ melalui pengawasan nasional yang ketat,” kata Hanif.

Sebagai salah satu negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia berencana memanfaatkan hasil keputusan COP29 untuk memperkuat aksi iklim domestiknya. “Kita perlu membangun mekanisme pendanaan nasional yang kokoh, sembari terus mendorong transparansi dan keadilan dalam pendanaan global,” tegas Hanif.

Dia juga menekankan bahwa Indonesia harus lebih aktif dalam memanfaatkan perdagangan karbon sebagai salah satu solusi pendanaan, tanpa mengorbankan integritas lingkungan. “Ini bukan hanya tentang mencapai target nasional, tetapi juga memastikan bahwa semua langkah kita membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan,” pungkasnya.

Meski hasil COP29 membawa optimisme baru, banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan, terutama dalam menutup kesenjangan pendanaan iklim untuk negara berkembang. “Kita butuh kolaborasi yang lebih erat antara negara maju dan berkembang untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan,” tambah Hanif. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles