Jakarta – Republika dan berbagai elemen Muslim telah bergabung untuk meluncurkan Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) dan Proyek Wakaf Hutan di Jakarta, sebagai langkah penting menuju kelestarian lingkungan dan aksi iklim.
MOSAIC, sebuah gerakan kolaboratif yang dipandu ajaran Islam, bertujuan untuk memobilisasi umat Islam Indonesia untuk memimpin upaya-upaya dekarbonisasi dan keberlanjutan. Inisiatif ini melibatkan para pemimpin Islam dan menggalang kaum muda Muslim untuk secara aktif mendukung solusi iklim. Proyek ini merupakan hasil langsung dari Kongres Umat Islam untuk Indonesia Lestari yang diselenggarakan pada tahun 2022 dan bertujuan untuk menggarisbawahi titik temu antara Islam dan iklim serta memberdayakan setiap individu untuk mendorong aksi iklim di seluruh negeri.
Rika Novayanti, anggota Komite Pengarah MOSAIC, berbagi wawasan tentang asal-usul inisiatif ini, dengan menyatakan, “Inisiatif MOSAIC muncul dari sebuah penelitian di tahun 2019 yang mengidentifikasi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat kepercayaan yang paling rendah terhadap perubahan iklim. Pada tahun 2020, dengan konteks penelitian yang lebih tepat, hasilnya cukup mengejutkan – 9 dari 10 orang Indonesia mengkhawatirkan perubahan iklim, tetapi juga percaya bahwa Tuhan memiliki kekuatan tertinggi. Hal ini menggarisbawahi potensi untuk mendiskusikan perubahan iklim dalam konteks Islam, mengingat masyarakat Indonesia lebih mempercayai para kyai daripada tokoh politik.”
Rika mengatakan bahwa Kongres Umat Islam untuk Indonesia Lestari 2022 menghasilkan beberapa hal, antara lain meningkatkan peran infrastruktur Islam dalam memimpin inisiatif perubahan iklim dan pendekatan yang lebih mendesak untuk mengatasi krisis iklim, serta menekankan perlunya kepemimpinan kaum muda dan perempuan.
Proyek Wakaf Hutan adalah komponen utama dari inisiatif MOSAIC. Hutan wakaf adalah hutan yang tumbuh di atas tanah wakaf, yang didefinisikan sebagai tanah yang diberikan untuk ibadah atau kesejahteraan umum sesuai syariah, telah digunakan dalam berbagai inisiatif hutan di seluruh Indonesia, termasuk di Bogor, Aceh, dan Jawa Timur.
Dr. Khalifah Muhammad Ali, dari Yayasan Hutan Wakaf Bogor, menyoroti dampak positif dari inisiatif ini, dengan menyatakan, “Hutan wakaf di dekat Taman Nasional Halimun-Salak telah berjalan selama tiga tahun, dengan hasil yang nyata seperti peningkatan populasi lebah yang bersarang dan peningkatan kualitas air di sekitar hutan.”
drh. Emmy Hamidiyah, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia, menekankan potensi wakaf yang sangat besar di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 180 triliun per tahun. Meskipun mengakui bahwa saat ini fokus pada pengentasan kemiskinan, Emmy berharap sosialisasi dapat mengubah paradigma, mengalokasikan sumber daya untuk menangani dampak dan mengatasi akar penyebab kemiskinan melalui inisiatif lingkungan.
Ia mengatakan bahwa “hingga Oktober lalu, 2,3 triliun rupiah telah terkumpul. Uang wakaf tidak langsung disalurkan, melainkan harus dikelola terlebih dahulu, baru kemudian hasilnya disalurkan kepada penerima manfaat. Dari dana yang direalisasikan sebesar Rp 97 miliar, 48% dialokasikan untuk pendidikan. Untuk lingkungan hidup, masih di bawah Rp 5 miliar. Pengelola zakat lebih banyak menangani masalah kemiskinan, atau masalah kedekatan, pendidikan, dan peningkatan pendapatan, belum sampai pada apa yang menyebabkan mereka miskin.
Hamidiyah berharap, “setelah lebih banyak sosialisasi, mudah-mudahan ada perubahan paradigma. Jadi, tidak hanya mengalokasikan (dana) untuk hal-hal yang berhubungan dengan dampak, tetapi juga hal-hal yang menyebabkan kemiskinan.” (nsh)