Monika Maritjie Kailey: Perempuan adat penjaga warisan budaya Aru

Jakarta – Monika Maritjie Kailey adalah sosok mungil dengan semangat yang menjulang tinggi. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk melindungi keanekaragaman hayati dan warisan budaya di Kepulauan Aru, Maluku. Saat ini, ia berdiri di antara para pemimpin dunia dalam Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP 16 CBD) di Cali, Kolombia. Namun, di kampung halamannya, ia adalah seorang pembela gigih hak-hak komunitasnya dan penjaga ekosistem yang kaya di kepulauan tersebut.

Tumbuh besar, Monika tidak seperti anak perempuan pada umumnya di desanya. Ketika kebanyakan gadis muda belajar memasak bersama ibu mereka, Monika mengikuti ayahnya ke hutan dan melaut, demikian disampaikan oleh Contentro PR pada hari Kamis, 24 Oktober. Pada usia tujuh tahun, ia ingat dengan jelas saat tidur di gua bersama ayahnya, mengumpulkan sarang burung walet untuk diperdagangkan. Ayahnya mengajarinya cara melacak hewan liar, keterampilan yang jarang dimiliki oleh anak perempuan di desanya.

“Dalam perjalanan dari satu gua ke gua lain, Papa mengajari kami membaca jejak berbagai hewan buruan, seperti rusa dan babi hutan. Saya juga pernah diajak berburu, melihat pemburu menghalau binatang hutan agar mendekati pemanah,” kenang Monika.

Pengalaman-pengalaman ini, katanya, membentuknya menjadi seorang pemimpin, seseorang yang belajar tanggung jawab melalui alam. Ia menjadi panutan bagi kelima adiknya, dan pengetahuannya tentang hutan dan laut membuatnya berbeda.

Monika Maritjie Kailey dan anak muda Aru (handout Contentro PR)

Hidup selaras dengan alam

Bagi Monika, alam dan manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan yang harus hidup seimbang. Di Aru, laut dan hutan menghidupi masyarakatnya. Mereka berburu babi hutan dan rusa, namun hanya seperlunya saja, untuk menjaga kelestarian ekosistem. Bertani adalah bagian penting dari kehidupan mereka, begitu juga dengan pengetahuan pengobatan tradisional dari hutan.

“Masyarakat di kampung kami hidup bergantung pada laut dan hutan. Di hutan kami membuat perkebunan untuk menanam bahan pangan, seperti singkong, ubi jalar, dan keladi. Di hutan pula kami mendapatkan tanaman obat, jika tidak bisa menjangkau fasilitas medis,” katanya.

Salah satu praktik utama yang membuat lingkungan Aru tetap sehat adalah ketaatan mereka terhadap hukum adat. Misalnya, sebelum menebang pohon untuk membangun rumah, penduduk setempat harus menanam pohon baru untuk memastikan keberlanjutan. Laut juga murah hati, menyediakan ikan, teripang, lobster, dan rumput laut-sumber daya yang dipanen oleh masyarakat sambil melestarikan cara hidup mereka.

Desa tempat tinggal Monika, Fatlabata, berakar kuat pada tradisi yang dipegang teguh olehnya. Ritual dan upacara merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, yang mengingatkan masyarakat akan ikatan mereka dengan tanah. “Kami percaya bahwa tanah adalah perut ibu kami,” jelas Monika, merujuk pada istilah lokal “jina tubir.” “Seperti halnya seorang ibu yang memberi makan anak-anaknya, tanah juga memberi makan kami, dan kami harus menjaganya seperti kami menjaganya.”

Komitmen Monika terhadap tradisi ini mendorong aktivismenya. Ayahnya, seorang pemimpin masyarakat adat, berjuang untuk melindungi Aru dari deforestasi dan eksploitasi, sebuah warisan yang menginspirasinya. Beliau mungkin tidak mengenyam pendidikan formal, namun pemahamannya tentang tanah sangat mendalam. Ayah Monik selalu mengatakan, “Ketika kau bicara tentang Aru, dan kau berbicara yang benar tentang Aru, dan kau memperjuangkan hak-hak banyak orang, hak-hak masyarakat adat, kau tidak akan pernah mati sia-sia di tanah ini,” kenang Monika.

Monika Maritjie Kailey dengan murid-muridnya. (handout Contentro PR)

Kekuatan pendidikan

Meskipun Monika sangat terhubung dengan akar tradisinya, ia juga menghargai pendidikan modern sebagai alat untuk pemberdayaan. Monika memilih yang terakhir ketika dihadapkan pada pilihan antara mendapatkan keuntungan finansial secara langsung dan melanjutkan studinya. Ia menerima beasiswa dari pemerintah Norwegia untuk belajar Linguistik Bahasa Inggris dan Pemerolehan Bahasa di Universitas Sains dan Teknologi Norwegia.

Keputusannya termotivasi oleh keinginannya untuk memajukan pendidikan di Aru. “Pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kegelapan,” katanya dengan penuh semangat. Ia percaya bahwa dengan membawa pulang pengetahuan baru, khususnya di bidang linguistik, ia dapat berkontribusi pada pengembangan tanah airnya.

Dalam perannya saat ini sebagai guru, Monika mendorong murid-muridnya untuk terlibat dengan buku, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan melihat dunia dari berbagai perspektif. Dia harus memupuk kebiasaan-kebiasaan ini, karena komunitasnya tidak terbiasa dengan praktik-praktik seperti itu. Tantangan untuk mendorong dirinya keluar dari zona nyamannya merupakan hal yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Di Norwegia, katanya, semua orang ingin sekali berdiskusi, berdebat, dan belajar. Monik terpacu untuk beradaptasi, dan dia menyukai tantangannya.

Monika Maritjie Kailey (handout Contentro PR)

Warisan ayah, dukungan ibu

Perjalanan Monika tidaklah mudah. Tekanan sosial dan pandangan yang meremehkan kerja-kerja lingkungan sering kali membuat orang lain mempertanyakan pilihannya. Namun, orang tua Monika selalu menjadi pendukung setia. Meskipun pendidikan formalnya terbatas, ayahnya memiliki visi untuk anak perempuannya sebagai pemimpin masa depan, sementara ibunya telah menjadi pilar kekuatan. Dukungan keluarga ini telah memberi Monika keberanian untuk mengejar mimpinya, tanpa terpengaruh oleh keraguan dari luar.

Kata-kata ayahnya terus membimbingnya: “Jangan pernah pulang tanpa hasil.” Bagi Monika, mantra ini mendorong tekadnya untuk menghadapi tantangan secara langsung, bahkan ketika ia terus belajar dan mengadvokasi komunitasnya dari jauh. Ia belum pernah kembali ke Aru sejak memulai studinya di Norwegia, namun hatinya tetap tertanam kuat di tanah kelahirannya.

Kisah Monika adalah kisah tentang ketangguhan, tradisi, dan pengejaran ilmu pengetahuan – sebuah perjalanan dari hutan dan lautan Aru ke panggung dunia. Karyanya menjembatani kesenjangan antara yang kuno dan modern, memastikan bahwa kearifan nenek moyangnya akan terus ada untuk generasi yang akan datang. (nsh)

Foto banner: Monika Maritjie Kailey (handout Contentro PR)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles