Mobilisasi modal: Titik kritis aksi iklim di pasar negara berkembang yang terbelit utang

Jakarta – Di tengah dunia yang bergulat dengan tantangan ganda berupa perubahan iklim dan ketidakstabilan ekonomi, sebuah laporan terbaru menyoroti kebutuhan mendesak akan peningkatan investasi lingkungan hidup di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang (emerging markets and developing economies/EMDEs), yang saat ini dihalangi oleh lingkaran setan berupa cuaca ekstrem, ketidakstabilan keuangan, tingkat utang yang tidak berkelanjutan, dan biaya modal yang tinggi.

Penelitian ini menggarisbawahi titik kritis komunitas global: kebutuhan untuk mendamaikan kendala fiskal dengan keharusan investasi lingkungan yang mendesak. Ditulis oleh Rebecca Ray dan B. Alexander Simmons dan diterbitkan oleh Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, laporan berjudul “Now or Never: Mobilizing Capital for Climate and Conservation in a Debt-Constrained World/Sekarang atau Tidak Sama Sekali: Memobilisasi Modal untuk Iklim dan Konservasi di Dunia yang Dililit Utang” menawarkan analisis komprehensif mengenai lanskap fiskal yang dihadapi oleh 108 EMDE, yang menyandingkan kemampuan mereka dalam memobilisasi modal asing dengan latar belakang kebutuhan investasi lingkungan hidup yang signifikan hingga tahun 2030.

Laporan ini mengkategorikan negara-negara ini berdasarkan kesehatan fiskal mereka ke dalam tiga kelompok yang berbeda: negara-negara yang berada di bawah tekanan utang, negara-negara yang menghadapi kendala pasar modal, dan negara-negara yang memiliki akses ke pasar modal. Sebanyak 95 negara menghadapi tekanan utang atau biaya modal yang tinggi, yang secara signifikan membatasi kapasitas mereka untuk menarik modal asing yang diperlukan untuk tujuan investasi lingkungan mereka. Di antaranya, 91 EMDE memiliki kebutuhan atau peluang investasi lingkungan yang melampaui median global dalam setidaknya satu dari empat bidang utama: kerentanan terhadap perubahan iklim, target pengurangan emisi di bawah Perjanjian Paris, dan perluasan kawasan lindung di daratan dan perairan pesisir.

Laporan ini menemukan bahwa 62 negara sangat membutuhkan restrukturisasi utang atau sedang menjalani proses ini. Negara-negara ini menanggung beban pembayaran utang yang lebih tinggi sebagai bagian dari proyeksi pendapatan pemerintah dan ekspor, yang mencakup sebagian besar Afrika dan Oseania serta negara-negara di seluruh kawasan global. Laporan ini menyoroti bahwa banyak negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, dan menekankan kebutuhan yang mendesak akan likuiditas baru, keringanan utang yang substansial, dan pembiayaan dengan biaya yang sangat rendah.

Kendala pasar modal

Sebanyak 33 negara lainnya, meskipun tidak memerlukan restrukturisasi segera, terhambat oleh kendala pasar modal, di mana biaya pinjaman melebihi proyeksi pertumbuhan, dan peringkat surat utang negara berada di bawah “investment grade”. Laporan ini menunjukkan bahwa negara-negara ini membutuhkan likuiditas baru dan peningkatan kredit untuk mendapatkan pembiayaan yang dapat menjaga kesinambungan utang mereka di masa depan.

Analisis ini memperjelas bahwa tindakan segera sangat penting. Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan utang, pembebasan utang yang komprehensif adalah yang terpenting. Bagi negara-negara yang tidak mengalami kesulitan, mengurangi biaya modal sangatlah penting. Laporan ini mengadvokasi peningkatan bertahap dalam tingkat likuiditas dan pembiayaan pembangunan serta langkah-langkah keringanan utang yang secara langsung terkait dengan investasi iklim dan pembangunan sebagai reformasi penting untuk mengatasi masalah yang mendesak ini. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles