Menyoal JETP: Apakah solusi palsu dan tambahan beban utang?

oleh: Hartatik

Jakarta – Komitmen pendanaan transisi energi yang berkeadilan Just Energi Transition Partnership (JETP) bernilai USD 20 miliar (Rp 310 triliun) untuk Indonesia disepakati negara-negara maju dalam rangkaian KTT G20 di Bali, akhir 2022 lalu. Saat ini, kesepakatan tersebut telah meningkat menjadi USD 21,6 miliar (Rp 324 triliun).

Kesepakatan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang, serta beranggotakan Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norwegia, Prancis, dan Uni Eropa. Adapun pendanaan dari swasta yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.

Pendanaan JETP tersebut terdiri atas USD 11,6 miliar (Rp 174 triliun) bersumber dari dana publik IPG, sedangkan USD 10 miliar (Rp 150 triliun) akan berasal dari bank-bank internasional yang bergabung dalam GFANZ working group.

Akhir November, pemerintah telah resmi meluncurkan dokumen kebijakan dan komitmen investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) program pendanaan JETP. Dokumen rencana kebijakan dan investasi ini merupakan peta jalan strategis, termasuk skenario dekarbonisasi untuk sektor ketenagalistrikan.

Dokumen CIPP JETP itu dikritisi koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mempersoalkan porsi utang dan hibah dalam dana JETP.

Program Manager Trend Asia, Beyrra Triasdian mengungkapkan, dana yang dijanjikan dari IPG dalam program JETP ini memang terlihat besar dan bertambah dengan masuknya skema ETM (energy transition mechanism) untuk memastikan tujuan pensiun dini PLTU masuk pada skema pendanaan JETP. Hanya saja porsi hibah yang digabung dengan bantuan teknis hanya 1,38% dari jumlah total dana JETP saat ini. “Ini tentu akan berimplikasi potensi beban utang Indonesia yang tinggi,” ungkap Beyrra.

Dominansi pinjaman komersial

Dalam dokumen CIPP JETP, dana pinjaman komersial jumlahnya jauh lebih besar, di mana termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi GFANZ senilai USD 10 miliar, sementara dana hibah hanya sebesar USD 295,4 juta (Rp 4,6 triliun).

Lebih rinci, dana hibah ini terdiri dari USD 141,6 juta bantuan teknis, hampir separuhnya atau sebesar USD 68 juta adalah porsi bantuan teknis untuk program tertentu seperti pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Campaigner 350.org Indonesia, Suriadi Darmoko menilai, pendanaan Kemitraan Transisi yang Adil atau JETP ini merupakan jebakan utang. Apalagi dana hibah tidak boleh digunakan untuk mendanai proyek.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, bahwa pendanaan dari negara maju (IPG), khususnya Amerika Serikat (AS), tidak menjunjung prinsip berkeadilan karena jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar sehingga Indonesia harus menanggung pinjaman dengan bunga pasar.

“Kesepakatan dengan negara maju sesuai dokumen CIPP JETP ini tidak ada yang spesial, masih pinjaman yang sifatnya business-as-usual. Apalagi segi perpajakan juga tidak tersentuh, maka JETP justru menunjukkan silo-silo pembahasan yang belum komprehensif,” kata Bhima.

Dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) pada September 2023, Chairman Indonesia Clean Energy Forum, Bambang Brodjonegoro menyarankan pemerintah agar skema pendanaan JETP ini semestinya mayoritas berasal dari pembiayaan ekuitas, bukan pembiayaan utang

“Pinjaman dari pendanaan JETP memang akan mudah untuk diakses karena menyangkut kebutuhan pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Meski begitu pendanaan itu tidak boleh membebani utang negara sehingga nantinya seolah-olah Indonesia mau transisi energi, tapi utang negaranya makin besar. Kalau mau transisi energi ya undang investor masuk,” kata Bambang.

Alokasi dana publik untuk JETP dan ‘solusi palsu’

Sementara itu, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menilai Sekretariat JETP dan pemerintah sudah semestinya berjuang meningkatkan porsi hibah dalam pendanaan JETP. Ia pun mencontohkan Jepang selaku anggota IPG, perlu meningkatkan tanggung jawab pendanaan melalui hibah karena turut berinvestasi PLTU di Indonesia. Selain itu, Jepang turut berkontribusi terhadap emisi pembakaran batubara dari aktivitas PLTU tersebut.

Menurut Pius, negara-negara IPG lainnya perlu meniru Jerman yang mengalokasikan hibah sebesar USD 167 juta atau 10% dari jumlah pendanaan publik untuk JETP. “Porsi jumlah hibah ini juga seharusnya menjadi acuan bagi negara IPG lainnya sebagai pelaksanaan dari prinsip common but differentiated responsibility,” ungkapnya.

Selain menyoroti soal mekanisme utang yang diberikan melalui program JETP ini, koalisi CSO dalam gerakan #BersihkanIndonesia juga menyoroti tujuh masalah substansial dalam dokumen CIPP. Di antaranya menurut mereka adalah masuknya ‘solusi palsu’ seperti co-firing biomassa dan carbon capture, utilizaton and storage (CCUS) sebagai upaya untuk menekan pemanasan global, sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil.

“Dokumen CIPP-JETP terbukti telah mengkhianati semangat transisi energi yang berkeadilan. Alih-alih mendorong dan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas seperti matahari, mikrohidro, dan angin berskala mikro, dokumen ini malah memberikan ruang bagi solusi palsu seperti co-firing, hidrogen, amonia, CCS/CCUS dan nuklir yang jelas-jelas berpihak pada korporasi besar, berorientasi pada profit, menghasilkan utang karbon yang besar, menghasilkan kerusakan lingkungan, dan memperparah pelanggaran HAM,” beber Didit Haryo Wicaksono, Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Utang produktif

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menjelaskan program pendanaan JETP dialokasikan untuk proyek produktif yang berkaitan dengan transisi energi.

“Kami pastikan menjaga supaya jangan sampai nanti kita dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Tentunya pembangkit listrik ini kan penting, karena sesuai dengan kebutuhan energi kita, industri kita,” kata Rachmat menanggapi kekhawatiran dana JETP sebagai jebakan utang Indonesia, seperti dikutip dari Antara.

Rachmat menjelaskan dalam membangun pembangkit listrik dibutuhkan dana investasi. Oleh karena itu, pemerintah berupaya agar pendanaan dari JETP dijadikan utang produktif. Artinya, pendanaan dari utang tersebut disalurkan untuk proyek-proyek yang dapat memberikan nilai tambah bagi Indonesia.

 

Foto banner: Aktivis yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menggelar aksi teatrikal terkait Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Senin (20/11/2023). (Sumber: Greenpeace)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles