oleh Nabiha Shahab
Hingga Maret 2024, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 1.425 wilayah adat seluas 28,2 juta hektar di Indonesia. Total wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah mencapai 240 wilayah adat dengan luas 3,9 juta hektar. Jumlah ini hanya 13,8 persen dari total wilayah adat yang terdaftar di BRWA.
Seiring dengan langkah Indonesia di bidang lingkungan hidup, pengakuan dan pengelolaan wilayah adat masih menjadi isu penting yang belum tertangani. Lambatnya pengakuan ini sangat memprihatinkan mengingat potensi yang signifikan dari wilayah adat dalam konservasi hutan dan mitigasi iklim.
Pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hutan di wilayah adat harus diakui dan tidak lagi sebagai bagian dari Hutan Negara (Putusan MK No. 35/PUU-X/2012). Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menetapkan 244.195 hektar di 131 wilayah adat, sangat jauh dari jutaan hektar wilayah yang diregistrasi BRWA.
Upaya yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat adat dan kebutuhan lingkungan yang direpresentasi oleh hutan-hutan tersebut. Wilayah adat bukan hanya sebidang tanah; wilayah adat merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat yang telah menjaganya selama turun temurun, dan sering kali menggunakan praktik-praktik konservasi yang lebih efektif dibandingkan dengan metode-metode yang dipaksakan dari luar.
Pertemuan Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hutan (UNFF) ke-19 minggu ini di New York menggarisbawahi kewajiban dunia meningkatkan pengelolaan hutan. Tema-tema sesi tahun ini sangat selaras dengan tantangan dan peluang Indonesia, terutama untuk meningkatkan manfaat sosial-ekonomi, sosial, dan lingkungan berbasis hutan dan secara signifikan meningkatkan kawasan hutan lindung.
Indonesia harus memanfaatkan platform global ini untuk mendapatkan sumber daya teknis dan keuangan yang diperlukan untuk meningkatkan pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Kesenjangan antara wilayah yang terdaftar dan wilayah yang diakui secara resmi menunjukkan adanya kesenjangan dalam komitmen politik dan alokasi sumber daya.
Langkah Indonesia ke depan membutuhkan pendekatan dari berbagai sisi. Meningkatkan kolaborasi antara badan-badan pemerintah, masyarakat adat, dan organisasi lingkungan sangatlah penting. Pemerintah harus menyederhanakan dan mempercepat proses pengakuan dan memastikan bahwa kawasan-kawasan tersebut dikelola dengan menghormati pengetahuan masyarakat adat dan mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati.
Selain itu, melalui forum-forum seperti UNFF, komunitas internasional harus terus mendukung Indonesia dalam upaya-upaya ini, dengan memberikan panduan dan sumber daya yang diperlukan untuk mengimplementasikan praktik-praktik berkelanjutan secara efektif. Dukungan ini sangat penting bagi Indonesia untuk memenuhi komitmennya di bawah Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, khususnya dalam melestarikan dan mengelola hutan secara berkelanjutan.
Ketika dunia memandang hutan sebagai solusi bagi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, mengakui dan memberdayakan masyarakat adat penjaga hutan tidak hanya bermanfaat, tetapi juga merupakan suatu keharusan. Pengakuan Indonesia terhadap wilayah adatnya bukan hanya merupakan isu lokal tetapi juga isu global, yang mencerminkan tanggung jawab kita bersama untuk mendorong masa depan lingkungan yang berkelanjutan dan adil.