Menanti aksi nyata G20, hentikan pembangkit energi fosil: IESR

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif The Institute for Essential Services Reform (IESR). Sumber: Kanal Youtube IESR

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Energy Transition Working Group (ETWG) untuk mempertegas komitmen negara-negara G20, terutama dalam mempensiunkan pembangkit energi fosil, dan memastikan keterbukaan proses transfer teknologi energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang tergabung dalam Engagement Group Civil Twenty (C20), dalam pernyataan tertulis Senin (28/3), menilai pemerintah Indonesia sebagai pemimpin G20 dapat lebih mendorong komitmen negara G20 untuk mengakselerasi transisi energi dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, terutama PLTU batubara daripada mengandalkan teknologi dekarbonisasi di PLTU seperti Coal Sprayer System (CCS) maupun teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang berbiaya mahal.

Aksesibilitas, peningkatan teknologi dan pembiayaan energi bersih menjadi pilar bersama bagi negara Government Group 20 (G20) mewujudkan transisi energi. Tiga pilar tersebut terumuskan dari sidang pertama Energy Transitions Working Group (ETWG), 24-25 Maret 2022 di Yogyakarta.

“Ancaman krisis iklim harus direspon dengan akselerasi transisi energi di seluruh negara G20. Untuk selaras dengan target penurunan suhu global 1,5 derajat celcius, The International Energy Agency (IEA) merekomendasikan PLTU yang tidak dilengkapi teknologi carbon capture harus diakhiri sebelum 2042,” ujar Fabby.

G20 seharusnya menunjukkan kepemimpinannya melakukan pengakhiran PLTU dan akselerasi pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, pemanfaatan penyimpan energi dan kendaraan listrik, serta modernisasi infrastruktur energi. Kerja sama internasional dalam hal pendanaan konsesional, investasi, alih teknologi dan bantuan teknis perlu dipercepat.

“Fokus capaian ini yang perlu diusahakan dicapai oleh Presidensi G20 Indonesia,” imbuhnya.

Selain itu, IESR memandang perlu bagi ETWG untuk menggali komitmen dari negara anggota G2O dalam mendorong transfer teknologi energi terbarukan.

Sementara itu, Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Kelompok Kerja Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi (Environment, Climate Justice, and Energy Transition-ECE) C20 menambahkan, selama ini distribusi teknologi yang tidak merata di berbagai negara telah mempersulit percepatan pertumbuhan teknologi hijau di seluruh dunia.

“Aspek sentral dari pengembangan dan transfer teknologi adalah pembangunan kapasitas lokal. Bahkan ketentuan UNFCCC dan Perjanjian Paris juga mendorong untuk transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Kami melihat perlu bagi negara-negara G20 memfasilitasi proses yang inklusif dalam pengadaan teknologi dan peningkatan kapasitas terhadap energi terbarukan, terutama melalui peningkatan fleksibilitas hak kekayaan intelektual bagi teknologi yang memberi dampak baik bagi lingkungan,” ungkap Lisa.

Menyoal keterbatasan informasi yang diperoleh dari hasil sidang ETWG ini, Lisa mendesak agar proses yang inklusif dan demokratis di semua forum G20 berlangsung transparan.

“Dokumen hasil rapat harus diungkapkan, serta inklusif dengan mengundang kelompok lain,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Lisa mengatakan pihaknya yang tergabung dalam Kelompok Kerja Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi C20 bersedia untuk berdiskusi dengan ETWG untuk menyelaraskan isu-isu prioritas dan rekomendasi kelompoknya sehingga menjadi pertimbangan dalam pertemuan ETWG selanjutnya. (Hartatik)

 

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles