Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Institute for Essential Services Reform (IESR), memberikan rekomendasi terkait penyusunan Second National Determined Contribution (SNDC) Indonesia. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mengkoordinir penyusunan SNDC untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035, diharapkan mengintegrasikan pandangan masyarakat sipil.
IESR bersama mitra-mitra masyarakat sipil menyerukan pembaruan skenario dan penetapan target yang sejalan dengan batasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan mencapai 1,5 derajat Celcius, sejalan dengan target Persetujuan Paris.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa target SNDC yang diusulkan masih jauh dari mencapai tujuan pembatasan kenaikan suhu. Selain itu, IESR menekankan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan SNDC dan menjalankan prinsip Article 4 Line 13 dalam Persetujuan Paris.
“Penekanan pada skenario business as usual (BAU) dinilai tidak relevan, dan IESR mengusulkan penggunaan emisi relatif pada tahun tertentu dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis,” ungkap Fabby dalam keterangan tertulis.
Fabby menilai bahwa meskipun Enhanced NDC (ENDC) menunjukkan peningkatan target penurunan emisi, namun masih tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. IESR menyatakan bahwa target penurunan emisi Indonesia seharusnya minimal 60 persen dari BAU untuk upaya sendiri dan 62 persen dari BAU untuk bantuan internasional.
IESR juga menggarisbawahi perlunya penurunan bauran energi fosil, terutama batubara dan gas, dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55-82 persen pada 2030.
Dalam konteks ini, target kapasitas energi terbarukan yang terpasang di ENDC dianggap kurang jelas dan tidak berhubungan langsung dengan penurunan emisi.
Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 26 persen atau 859 MtCO2e, dan 28 persen dengan bantuan internasional (conditional) atau 829 MtCO2e. Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, maka Indonesia perlu pula menurunkan bauran energi fosil seperti batubara dan gas dalam sistem energi Indonesia. Bauran batubara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7 hingga 16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira Swadana menambahkan, pentingnya keadilan iklim dalam distribusi beban pengurangan emisi.
“Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar. Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” tegas Wira.
Adapun IESR dan masyarakat sipil memberikan enam rekomendasi kepada pemerintah terhadap penyusunan SNDC. Itu termasuk pertimbangan prinsip Persetujuan Paris, integrasi measurement, reporting, and verification (MRV), penghentian penggunaan BAU scenario, penetapan target iklim selaras Persetujuan Paris, pelaksanaan monitoring dan evaluasi transparan, serta implementasi prinsip keadilan iklim. (Hartatik)