Masyarakat sipil dorong ambisi lebih tinggi dalam SNDC Indonesia

Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution, SNDC) yang akan disampaikan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Agustus 2024. Dalam upaya ini, koalisi masyarakat sipil menekankan pentingnya transparansi dalam pengumpulan, pelaporan, dan verifikasi data emisi.

“Pemutakhiran sistem transparansi SNDC dengan penetapan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik per tahun sangat diperlukan,” ujar Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim dari Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam Media Briefing “Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk SNDC Indonesia” yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa, 25 Juni.

Pemerintah mengungkapkan setidaknya ada tiga perubahan dalam penyusunan penetapan target penurunan emisi di SNDC. Pertama, penggunaan data emisi tahun 2019 sebagai basis rujukan pengukuran pengurangan emisi. Kedua, pemutakhiran dalam transparansi pengumpulan data, pelaporan, dan verifikasi. Ketiga, penurunan emisi dari sektor energi akan mengacu pada RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN).

IESR menilai bahwa perubahan tahun rujukan pengurangan emisi dan penguatan aspek transparansi merupakan langkah maju. Perhitungan pengurangan emisi yang bukan lagi menggunakan proyeksi emisi tanpa intervensi atau business as usual, melainkan menggunakan tahun rujukan, merupakan pendekatan yang lebih aktual dan terukur karena berdasar pada data historis yang konkret.

“Target SNDC harus selaras dengan skenario 1,5 derajat Celcius. Antara ambisi dan implementasi harus pula sejalan dengan pelibatan pemangku kepentingan yang relevan. Hanya saja implementasi SNDC ini akan berlangsung pada 2031-2035 sementara mitigasi krisis iklim harus berjalan terus. Untuk itu, pemerintah perlu mengevaluasi dan memperkuat target Enhanced NDC (ENDC) yang diimplementasikan pada 2025-2030,” jelas Anindita.

Menurut Anindita, pemerintah perlu membangun kredibilitas dengan memastikan implementasi target penurunan emisi yang sudah ditetapkan. Ia menekankan pemerintah harus menyesuaikan strategi untuk menutup kesenjangan antara emisi saat ini dengan target yang sesuai dengan skenario 1,5 derajat Celcius.

“Pemerintah perlu mengidentifikasi dan menghapus kebijakan atau aturan yang tidak sejalan dengan tujuan pengurangan emisi dan menghambat pencapaian target 1.5 derajat Celcius,” imbuh Anindita.

Sementara itu, Analis Sistem Ketenagalistrikan, IESR Akbar Bagaskara, menekankan penurunan emisi dari sektor energi akan lebih terukur dengan penetapan target bauran energi terbarukan dibandingkan menggunakan kapasitas energi terbarukan yang terpasang. Mengenai penetapan target penurunan emisi yang mengacu pada RPP KEN, Akbar mendorong pemerintah untuk meningkatkan level ambisi mitigasi emisi, termasuk di sektor ketenagalistrikan dan transportasi.
“Strategi penurunan emisi di sektor ketenagalistrikan, seperti dengan memperlengkapi PLTU batubara dengan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), tidak efektif dan efisien untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission, NZE). Strategi cofiring biomassa perlu ditinjau ulang. Selain mempertimbangkan pemenuhan bahan baku yang diproyeksi membutuhkan Hutan Tanaman Energi minimal 2,33 juta hektar, verifikasi klaim penurunan emisi juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan emisi dari siklus hidup dari biomassa tersebut,” ungkap Akbar.

Selain RPP KEN, Akbar menekankan tentang penyelarasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dengan tujuan SNDC. RUU tersebut masih mencakup teknologi energi baru berbasis batubara, seperti batubara tercairkan dan batubara tergaskan untuk menghasilkan Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar pengganti LPG. Hal ini menjadi kontraproduktif dengan ide dan tujuan transisi energi dan aksi iklim.

Pada kesempatan sama, Staff Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia memaparkan, sektor hutan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use, FOLU) menjadi penyumbang emisi terbesar sekitar 50,1 persen. Sektor FOLU diharapkan menyerap lebih banyak emisi dibandingkan melepaskannya (net sink) pada 2030 dengan skenario Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP) untuk pencapaian nir emisi 2060 atau lebih cepat. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles