Jakarta – Indonesia harus memperkuat kemampuan industri domestiknya untuk memproduksi sel dan modul surya dalam jumlah besar sebagai langkah penting untuk mencapai kemandirian infrastruktur ketenagalistrikan dan mendukung transisi energi bersih. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam pidatonya pada acara Indonesia Solar Summit (ISS) 2024 yang digelar pada Rabu, 21 Agustus.
Dalam acara tersebut, Luhut menekankan bahwa pengembangan industri solar dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, merupakan elemen krusial dalam mengatasi krisis iklim yang semakin mendesak.
“Pemerintah Indonesia melalui PLN akan segera meluncurkan program pembangunan 60 GW energi terbarukan,” ujar Luhut.
Selain itu, Indonesia telah berhasil menarik investasi besar dari Singapura untuk pengembangan energi terbarukan, termasuk manufaktur PLTS, dengan nilai mencapai USD 30-50 miliar.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dirancang oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pada 2023 memperkirakan bahwa kapasitas terpasang PLTS akan mencapai 410-460 GW hingga 2060. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Indonesia harus mampu memproduksi modul surya dalam jumlah besar secara mandiri, yang mencakup semua komponen utama seperti polisilikon, ingot, wafer, dan low iron tempered glass.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM Sahid Junaedi,, berbagai strategi telah disiapkan untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, termasuk pengurangan bertahap penggunaan PLTU berbahan bakar batu bara dan percepatan elektrifikasi di berbagai sektor.
“Tambahan pembangkit listrik setelah 2030 hanya akan berasal dari pembangkit energi baru dan terbarukan, dengan PLTS menjadi salah satu tulang punggungnya,” kata Sahid.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menambahkan bahwa pemerintah perlu memberikan dukungan lebih lanjut kepada produsen modul surya lokal, terutama melalui insentif fiskal dan non-fiskal.
“Jika tidak dikelola dengan baik, relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang baru saja diterbitkan pemerintah dapat melemahkan daya saing modul surya lokal terhadap produk impor yang lebih murah dan berkualitas tinggi,” ujar Fabby.
Fabby juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan pasar domestik yang kuat untuk menyerap produksi modul surya lokal dan menarik investasi besar di sektor ini. Ia memperkirakan bahwa pengeluaran modal untuk membangun rantai pasok industri PLTS, termasuk polysilicon, wafer, sel, dan modul surya, mencapai USD 170 hingga 190 juta per gigawatt kapasitas.
Di sisi lain, Ollie Wilson, pemimpin RE100, organisasi yang mendorong penggunaan 100% energi terbarukan oleh industri, menegaskan bahwa keberadaan rantai pasok komponen PLTS yang kuat akan membuka akses luas bagi bisnis di Indonesia untuk mendapatkan listrik terbarukan dengan biaya yang lebih terjangkau.
“Ini akan membantu bisnis-bisnis di Indonesia memenuhi komitmen internasional mereka terkait penggunaan energi bersih dan mendukung tercapainya target NZE,” ujar Ollie.
Indonesia Solar Summit (ISS) 2024, yang bertema “Membangun Rantai Pasok PLTS Indonesia untuk Mempercepat Transisi Energi dan Mendukung Industri Hijau,” diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, KESDM, serta mitra internasional seperti RE100. Summit ini merupakan bagian dari pra-acara menuju Indonesia Sustainability Forum 2024, yang akan menjadi forum penting dalam menggalang dukungan dan kerja sama untuk transisi energi hijau di Indonesia. (Hartatik)
Caption foto: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan membuka Indonesia Solar Summit (ISS) 2024 secara luring, Rabu, 21 Agustus. (Sumber: IESR)