Laporan: Ekspor batu bara ke ASEAN solusi sementara, Indonesia terjepit kompetisi dan kebijakan energi bersih regional

Jakarta – Laporan Energy Shift Institute (ESI) menilai upaya Indonesia mengalihkan ekspor batu bara ke negara-negara Asia Tenggara tak lebih dari jeda sesaat di tengah merosotnya serapan pasar Cina. Saat ini, kawasan ASEAN semakin agresif mengurangi porsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) karena kebijakan energi bersih, sehingga potensi pasar batu bara di wilayah ini semakin sempit dan sarat kompetisi dengan eksportir besar dunia.

Laporan ESI terbaru berjudul “Indonesia’s coal exports: courting Southeast Asia is a stop-gap measure” menegaskan bahwa ketergantungan Indonesia pada ekspor batu bara membuat negara ini berada dalam posisi rentan ketika pasar utama seperti Cina mempercepat transisi energi dan memotong impor batu baranya secara signifikan.

ESI menyebut Indonesia kini tidak hanya harus menambal penurunan permintaan dari China, tetapi juga harus berhadapan dengan negara-negara eksportir besar lain yang berebut pasar ASEAN, termasuk Australia, Rusia, dan Afrika Selatan. Kondisi tersebut membuat strategi pengalihan ekspor ke kawasan Asia Tenggara tidak mampu memberikan perlindungan jangka panjang.

Pemimpin Transisi Batu Bara ESI, Hazel Ilango, menegaskan bahwa penyusutan ekspor ke China tidak bisa ditutupi oleh penjualan ke empat negara ASEAN—Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

“Sebagai perbandingan, penurunan impor batubara China dari Indonesia sebesar 23 juta ton dari periode yang sama di tahun 2024 saja setara dengan 43 persen dari total ekspor Indonesia ke keempat negara ASEAN tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala konsumsi batubara dan sistem energi China tidak tertandingi,” kata Hazel.

Berdasarkan data yang dikompilasi International Trade Centre (Intracen) dan ESI, ekspor batu bara Indonesia ke China selama semester I-2025 hanya mencapai 84 juta ton, atau turun 21 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara ekspor ke empat negara ASEAN tersebut hanya berjumlah 55 juta ton, volume yang tidak cukup untuk mengimbangi penurunan impor China.

ESI juga mengingatkan bahwa pertumbuhan permintaan batu bara untuk sektor kelistrikan di ASEAN sangat terbatas. Hazel memaparkan bahwa ketika digabungkan, potensi tambahan kebutuhan PLTU di Indonesia, Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia bahkan tidak mencapai 25 gigawatt (GW). “Sebaliknya, potensi peningkatan kebutuhan batubara China untuk sektor ketenagalistrikan totalnya bisa mencapai 484 GW,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa rendahnya daya serap batu bara di ASEAN bergerak sejalan dengan arah kebijakan energi bersih. Negara-negara di kawasan ini semakin tegas menekan pembangunan PLTU baru, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dan mengalihkan operasi pembangkit lama ke gas atau teknologi efisiensi lainnya. Vietnam menjadi contoh paling jelas, setelah secara bertahap menghentikan PLTU yang tidak efisien dan membatasi proyek batu bara baru.

Dalam situasi tersebut, ESI memperingatkan bahwa pengalihan ekspor batu bara ke ASEAN hanya akan memberi ruang pernapasan sementara. “Pemerintah Indonesia perlu memikirkan strategi jangka panjang yang bisa diadaptasi untuk menekan dampak tren penurunan ekspor yang terus berlanjut,” ujar Hazel.

Ia menilai bahwa meskipun permintaan dalam negeri diproyeksikan naik sekitar 14 juta ton atau 6 persen pada 2025, produsen batu bara tetap enggan mengalihkan penjualan ke pasar domestik, terutama untuk pembangkit listrik PLN. Hal itu disebabkan adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang membuat harga penjualan domestik jauh lebih rendah dibanding pasar ekspor.

“Tanpa adanya strategi diversifikasi ekonomi yang lebih dalam, maka pendapatan dari penurunan ekspor ini berpotensi terus menyusut,” ungkapnya.

Hazel mendorong pemerintah menggunakan keuntungan jangka pendek dari pasar ASEAN sebagai bekal untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon di daerah penghasil batu bara, serta mempercepat transformasi industri energi. “Keuntungan sementara dari pasar ASEAN dapat digunakan sebagai modal transisi ke kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan, baik melalui pengembangan energi bersih, infrastruktur pendukung transisi, maupun diversifikasi industri di daerah penghasil batubara,” katanya.

Ia menekankan bahwa tanpa perubahan arah kebijakan, Indonesia akan menghadapi risiko ekonomi lebih dalam karena penurunan struktural pasar batu bara tak terhindarkan. “Tentunya, kondisi ini membuat industri dan Pemerintah Indonesia rentan terhadap guncangan pendapatan dan menyusutnya pasar batu bara global,” tegas Hazel. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles