Krisis iklim akan paksa perusahaan energi fosil beralih ke energi terbarukan

Peneliti sekaligus Manager Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Luthfyana Kartika Larasati memaparkan lanskap status pendanaan iklim dari sektor keuangan baik untuk institusi publik maupun privat pada diskusi “Peran Investasi ESG Bank Domestik dalam Pendanaan Transisi Energi”, Selasa (25/2). (Tangkapan layar Youtube Indonesia Cerah)

Jakarta – Perubahan iklim yang semakin mengancam perusahaan-perusahaan energi berbasis fosil untuk menghadapi kenyataan bahwa transisi ke energi terbarukan tidak bisa lagi ditunda, menurut seorang pakar ESG. Kondisi ekonomi global yang berfluktuasi serta tekanan dari pasar dan kebijakan lingkungan semakin mempercepat kebutuhan akan peralihan ke energi bersih.

Pakar ESG dan konsultan di Green Network, Jalal, dalam diskusi bertajuk Peran Investasi ESG Bank Domestik dalam Pendanaan Transisi Energi, Selasa, 25 Februari mengatakan bahwa saat ini banyak perusahaan energi fosil masih menikmati keuntungan besar akibat melonjaknya harga dan permintaan energi pascapandemi Covid-19.

“Saat pandemi, permintaan energi turun drastis. Namun, ketika ekonomi mulai pulih, konsumsi energi kembali meningkat, menyebabkan harga energi fosil melonjak. Perusahaan-perusahaan ini meraup keuntungan besar dari situasi ini,” ujar Jalal.

Namun, meskipun saat ini perusahaan-perusahaan energi fosil menikmati keuntungan besar, Jalal menilai tren ini tidak akan bertahan lama.

“Krisis iklim semakin parah, dan pada akhirnya perusahaan-perusahaan ini tidak akan bisa terus menghindar dari kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan,” tambahnya.

Di tingkat global, dinamika politik juga ikut mempengaruhi kebijakan perusahaan energi. Salah satu contohnya adalah kebijakan Donald Trump saat menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat yang melemahkan berbagai regulasi iklim, membuat banyak perusahaan energi menunda transisi. “Ini bukan hanya soal efisiensi atau transisi, tapi juga soal bagaimana mereka memanfaatkan situasi politik untuk kepentingan jangka pendek,” ungkap Jalal.

Situasi serupa juga terjadi di Eropa, di mana beberapa perusahaan energi besar seperti British Petroleum (BP) membatalkan target peningkatan produksi energi terbarukan mereka dan kembali fokus pada bahan bakar fosil. Bahkan, Komisi Eropa sempat mengusulkan penghapusan beberapa perusahaan dari daftar regulasi karbon Uni Eropa, yang semakin memperlambat laju transisi energi.

Jalal menyoroti bahwa di Indonesia, ada kecenderungan untuk mengikuti langkah serupa dalam menarik diri dari komitmen iklim. Namun, ia tetap optimistis bahwa transisi energi akan kembali menguat dalam jangka panjang.

“Ini hanya guncangan sementara. Pada akhirnya, biaya energi fosil yang semakin tinggi dibandingkan energi terbarukan akan memaksa perusahaan untuk berubah,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa para pemimpin perusahaan energi saat ini lebih banyak berorientasi pada keuntungan jangka pendek karena tekanan dari pasar.

“Banyak CEO dinilai berdasarkan kinerja kuartalan, sehingga mereka lebih memilih mengambil keuntungan cepat daripada berinvestasi pada transisi energi yang memerlukan waktu lebih panjang,” jelasnya.

Meskipun demikian, Jalal yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan, perubahan iklim akan semakin memaksa perusahaan-perusahaan energi untuk beradaptasi.

“Pada akhirnya, mereka tidak bisa terus bergantung pada bahan bakar fosil. Krisis iklim semakin menekan, regulasi semakin ketat, dan pasar pun mulai berpihak pada energi bersih. Kita harus siap menghadapi perubahan ini,” pungkasnya. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles