oleh: Eko Prasetyo
November 2023 lalu, jagat dunia maya dihebohkan oleh sebuah video yang menunjukkan dua sosok berani mengusir buldoser untuk melindungi hutan tempat tinggal mereka.
Dengan judul yang cukup menarik, “Viral, Aksi Suku Pedalaman di Halmahera Menolak Buldoser untuk Selamatkan Hutan,” video ini bukan hanya berhasil menarik perhatian lebih dari 3 juta penonton, tapi juga memancing beragam komentar dari warganet.
Menilik keterangan dalam video tersebut, dua pahlawan tanpa tanda jasa ini diketahui sebagai kelompok O’Hongana Manyawa, atau lebih dikenal sebagai Orang Togutil, yang mendiami sebagian wilayah pulau Halmahera. Namun, pertanyaan muncul, benarkah ini kejadian baru atau hanya sekadar pemanasan ulang dari dua tahun lalu?
Kentalnya stereotip
Terlepas dari kontroversinya, video ini tampaknya menambah deretan stereotip yang melekat pada Orang Togutil, yang sering dianggap sebagai pembunuh jahat dan dihinggapi stigma tidak berbudaya. Tapi seberapa akurat pandangan ini?
Dua tahun yang lalu, tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang kini dikenal sebagai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menjalankan penelitian lapangan mengenai Orang Togutil di Halmahera Timur selama 15 hari.
Mereka mengunjungi beberapa kelompok Orang Togutil, mengamati tempat tinggal mereka di dalam dan di luar hutan, serta mewawancarai beberapa anggota kelompok.
Hasilnya membuktikan bahwa kehidupan Orang Togutil mengalami perubahan signifikan akibat alih fungsi hutan yang dipicu oleh aktivitas pertambangan dan industri kayu. Namun, kehidupan mereka jauh dari citra negatif yang melekat di masyarakat.
Mengenal lebih dekat
Syaiful Madjid, seorang sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Ternate, mengungkapkan bahwa Orang Togutil tersebar di empat daerah dan hidup terpisah dalam 16 kelompok di Pulau Halmahera.
Meskipun pemerintah provinsi berusaha memukimkan mereka, Orang Togutil tetap setia pada kehidupan subsisten di hutan, menyebut diri mereka sebagai O’Hongana Manyawa atau Orang yang Tinggal di Hutan.
Orang Togutil, yang sebagian besar merupakan bagian dari Suku Tobelo, menjalani kehidupan dengan kegiatan seperti berburu, berkebun, dan mengumpulkan makanan secara berpindah-pindah. Keterikatan mereka terhadap alam terlihat dalam konsep pohon kelahiran dan pohon kematian, yang menandai peristiwa kelahiran dan kematian.
Dalam menghadapi perubahan, terutama akibat ekspansi perusahaan tambang dan kayu, Orang Togutil yang masih tinggal di hutan mengalami dilema. Daerah jelajah mereka berkurang, memaksa sebagian dari mereka untuk keluar dari hutan dan bermukim seperti masyarakat umumnya.
Di Halmahera Timur, kegiatan pertambangan dan penggalian telah menjadi kontributor terbesar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah ini yang mencapai 37% pada 2021. Namun, dampaknya terasa bagi Orang Togutil yang menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Kunjungan para peneliti ke Lembah Gogaili, Desa Iga, Kecamatan Wasile Utara, tersebut memperlihatkan bahwa beberapa Orang Togutil sudah beralih ke gaya hidup yang lebih modern dengan memiliki gula, garam, dan minyak goreng di tengah dapur mereka. Interaksi dengan dunia luar tidak bisa dihindari, dan banyak dari mereka mengalami intervensi dan ketergantungan pada produk luar.
Upaya kerja sama dan pemangkasan stigma
Meskipun beberapa Orang Togutil keluar hutan untuk mengikuti program permukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari Pemerintah, tidak semua dari mereka mampu beradaptasi. Sebagian masih tetap berkebun di hutan dan menghadapi tantangan ekonomi serta ketergantungan terhadap bantuan luar.
Namun, ada pula cerita sukses seperti Loriana Tiak, seorang perempuan Togutil yang berhasil menempuh pendidikan tinggi dan kini berkontribusi positif bagi masyarakatnya.
Kisah-kisah seperti ini membuktikan bahwa Orang Togutil bukan hanya sekadar pihak yang harus diselamatkan, tapi juga memiliki potensi untuk beradaptasi dan berkembang.
Pentingnya memahami dan memotong stigma terhadap Orang Togutil tidak bisa dianggap remeh. Mereka memainkan peran krusial sebagai penjaga terakhir hutan tropis di Indonesia, dan keberlanjutan lingkungan serta warisan budaya mereka perlu dihargai.
Dengan pemahaman yang lebih baik dan kolaborasi yang kokoh, kita dapat bersama-sama merawat keanekaragaman hayati serta warisan budaya yang dimiliki oleh Orang Togutil. Kebijakan asimilasi pun harus disusun dengan mempertimbangkan pandangan dan kebiasaan hidup mereka agar dapat berjalan lebih efektif.