KLHK bantah klaim Jakarta peringkat tertinggi dalam daftar polusi udara: laporan

Menurut data aplikasi IQAir pada pukul 07:30 waktu Jakarta pada hari Selasa, 15 Agustus, kualitas udara Jakarta diklasifikasikan sebagai yang terburuk di dunia, dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) 174, yang termasuk dalam kategori “tidak sehat”. (nsh)

Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menepis anggapan bahwa Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi udara terparah di dunia.

Sigit Reliantoro, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan kepada pers bahwa penilaian yang lebih komprehensif yang melibatkan perbandingan data sangat penting untuk mengevaluasi indeks kualitas udara di ibu kota secara akurat.

Reliantoro, seperti dikutip oleh Tempo English, mengatakan bahwa penggambaran Jakarta sebagai kota paling berpolusi di dunia perlu direvisi, karena eksplorasi terhadap sumber-sumber informasi alternatif masih perlu dilakukan.

Ia menunjuk pada situs web pelacakan kualitas udara aqcin.org, yang mengindikasikan bahwa indeks polusi di Jakarta minggu lalu berada pada angka 160, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan indeks polusi di Yangon, Myanmar yang berada pada angka 211, Kopenhagen, Denmark yang berada pada angka 500, dan Alaska yang berada pada angka 200.

Berdasarkan data tahun 2018 hingga 2023, Reliantoro menyoroti bahwa Jakarta memiliki kualitas udara yang sangat baik selama masa pandemi dan sebelum pandemi. Namun, ia mengakui adanya peningkatan tingkat polusi baru-baru ini. Peningkatan ini dapat dikaitkan dengan metode penilaian kualitas udara di pusat-pusat kota di Indonesia, terutama Jakarta, yang terutama terjadi di tengah-tengah gedung-gedung menjulang tinggi yang menghambat sirkulasi angin secara alami. Dia mengatakan bahwa lingkungan ini menumbuhkan atmosfer di mana polutan terakumulasi.

Selain itu, emisi kendaraan berkontribusi secara signifikan terhadap polusi yang terus berlanjut, menyebabkan konsentrasi meningkat beberapa kali lipat dari tingkat yang ada. Reliantoro menggambarkan fenomena ini sebagai efek “street canyon”. Menurutnya efek perputaran angin yang terjebak di suatu tempat karena terhalang gedung perkotaan, merupakan fenomena dapat mengganggu pengukuran kualitas udara.

Dia mencatat bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga meluas ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung. Karena topografi, polutan udara di daerah-daerah ini menjadi terperangkap, sehingga membutuhkan intervensi hujan atau angin untuk menghilangkannya.

Menurut data aplikasi IQAir pada pukul 07:30 waktu Jakarta pada hari Selasa, 15 Agustus, kualitas udara Jakarta diklasifikasikan sebagai yang terburuk di dunia, dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) 174, sesuai dengan kategori “tidak sehat”. Konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 terukur sebesar 99,3 mikrogram per meter kubik, jauh lebih tinggi daripada nilai pedoman kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Pada saat yang sama, Dubai, Uni Emirat Arab (AQI: 177), Doha, Qatar (AQI: 164), Dhaka, Bangladesh (AQI: 152), dan Kuching, Malaysia (AQI: 148) termasuk di antara lima kota teratas yang menunjukkan tingkat polusi yang tinggi, berdasarkan metrik AQI yang sama. (nsh)

Foto banner: Creativa Images/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles