Kejar target nol emisi karbon, dekarbonisasi atau EBT bukan pilihan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bersama Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyaksikan penandatanganan Joint Study Agreement CO2 Injection for Enhanced Oil Recovery (CCUS-EOR) di Lapangan Jatibarang antara Pertamina PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (Jogmec) di sela Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM) di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/8). (Foto: Hartatik)

oleh: Hartatik

Nusa Dua, Bali – Pertamina sebagai perusahaan energi memainkan peran penting dalam memimpin transisi industri energi. Namun krisis energi di Eropa sebagai imbas invasi Rusia ke Ukraina membuat Pertamina mengambil langkah realistis menuju transisi energi hijau.

Seakan tidak ingin mengikuti kegagalan negara Eropa yang berambisi total lepas dari energi fosil, Pemerintah Indonesia lebih memilih mempertahankan ketahanan energi. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menegaskan bahwa dekarbonisasi maupun pengembangan energi baru terbarukan (EBT) pada masa transisi energi ini bukanlah suatu pilihan. Apalagi energi yang dihasilkan saat ini masih didominasi energi fosil.

Nicke mengatakan tidak akan memilih di antara dekarbonisasi atau EBT, karena keduanya harus dijalankan. “Tidak bisa hanya satu yang leading. Yang namanya net zero emission artinya penghasil karbon emisinya tetap ada, tidak apa-apa. Tapi ada program menurunkan emisinya,” terang Nicke di sela perhelatan B20 di Hotel Ritz Carlton Nusa Dua, Bali, Rabu (31/8).

Meski begitu, Nicke mengingatkan transisi dari energi fosil ke EBT tidak boleh mengorbankan ketahanan energi atau keamanan energi dan aksesibilitas energi. Apalagi UU Energi mengamanatkan bahwa yang harus diamankan adalah ketahanan energi nasional sesuai dengan kebutuhan, bisa diakses oleh semua masyarakat dan harganya terjangkau.

Untuk itu, komitmen memulai transisi energi ini harus masuk dalam kerangka kebijakan. Tidak hanya regulator yang memegang peran, tapi dunia usaha juga perlu didorong. “Di forum B20 ini ada 140 member task force yang membahas bagaimana kita melakukan transisi energi tanpa mengganggu ketahanan energi,” imbuhnya.

Nicke menyadari bahwa produk EBT yang dihasilkan Pertamina masih di bawah 3 persen dari target bauran EBT 29 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Namun capaian tersebut akan ditingkatkan menjadi 17 persen pada 2030.

Untuk itu, Pertamina mengalokasikan sekitar 14% dari total belanja modal (capex) untuk pengembangan EBT. Jumlah ini diklaim lebih tinggi dibanding alokasi dari perusahaan global yang hanya sekitar 9%.

“Dominasi energi Indonesia pada 2050 dari EBT sebesar 30 persen, sisanya dari fosil (migas). Jadi Pertamina tetap harus menyediakan ini (energi fosil),” kata Nicke.

Di sisi lain pemerintah telah berkomitmen mencapai target nol emisi bersih atau net zero emissions pada 2060. Karena itu, Pertamina harus melakukan program dekarbonisasi untuk menurunkan emisi karbon dari 69% bauran energi non EBT. Hingga 2021, Pertamina telah berhasil menurunkan karbon emisi sebesar 29 persen, bahkan lebih tinggi dari target Nationally Determined Contributions (NDC).

“Tahun 2021 berhasil menurunkan 7,4 juta ton CO2. Dari angka 7,4 juta ton CO2, kontribusi gas metan 5 jutaan. Ini akan terus kita tingkatkan, karena target kita mencapai 29% pada 2030,” terangnya.

Untuk menurunkan emisi karbon hingga 29% itu, Nicke menjelaskan telah mengendalikan gas buang di kilang maupun hulu. Dalam proses pembentukan energi tersebut ada gas metan yang terbuang ke udara. Melalui teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), menjadi salah satu inisiatif untuk mengurangi emisi karbon dari fasilitas kilang Pertamina, sekaligus menjadi solusi peningkatan produksi migas di era transisi energi.

“Lalu kita melihat Pertamina memiliki aset yang luar biasa di hulu, dan pada masa kejayaannya bisa menghasilkan minyak sampai 1,5 juta barel per hari. Tapi hari ini sudah turun. Ini ada sisi baiknya kita punya reservoir yang sudah kosong dan digunakan untuk storage dari CO2 yang kita sebut Carbon Capture, Utilisation and Storage. Dengan diinjeksikan, CO2 yang masih menempel di bawah bisa terangkat ke atas. Ini yang kita lakukan dengan kiang di Sukowati (Bali) dan Jatibarang (Indramayu),” jelasnya.

Lantas berapa potensi seluruh kilang untuk melakukan CCUS? Nicke menjelaskan, data yang disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa total potensi storage capacity bisa diinjeksikan 2 triliun CO2.

“Kita harus mengakui kilang ini ada dan tidak mungkin kita tutup, tapi harus kita konversi menjadi green produk dan low carbon produk,” tukasnya.

Foto banner: Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP), revitalisasi kilang Balongan tahap I telah selesai. (Sumber: Pertamina)

update 17 Sept 2022, 16.20 – penambahan infografis

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles