Kebijakan net-metering hambat capaian target PLTS terpasang

Jakarta – Kebijakan net-metering menghambat pemerintah dalam mencapai target kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpasang sebesar 450 Megawatt peak (MWp) pada 2022, menurut pemerhati energi terbarukan. Net metering adalah sistem layanan yang diberikan PLN untuk pelanggan yang memasang PLTS tetap harus menggunakan jaringan listrik konvensional (PLN).

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa mengungkapkan, sejak diundangkan pada Agustus 2021, Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum praktis tidak berjalan. Pasalnya, PLN menolak pelaksanaannya.

“Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang melakukan revisi Permen ESDM No 26/2021. Perubahan ini dimaksudkan untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak peraturan menteri tersebut resmi dikeluarkan,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis hari ini.

Dalam public hearing awal Januari, Kementerian ESDM memaparkan usulan perubahan substansi di antaranya tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, ekspor listrik ditiadakan (tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan), biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan (tidak lagi 5 jam), dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Namun menurut Fabby, revisi ini sepertinya merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering, karena kondisi overcapacity. Tapi AESI menyayangkan bahwa akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh.

“Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt,” imbuhnya.

Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100%) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve.

Perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan. Namun teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah, serta periode waktu penetapan kuota per 5 tahun yang terlalu lama karena dinamika penyediaan listrik.

Peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga). Pasalnya, tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari.

“Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap,” tukasnya. (Hartatik)

Foto banner: Chalermphon Srisang/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles