Jakarta – Kajian terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 1.500 lokasi dengan potensi pengembangan energi terbarukan (EBT), di mana 333 gigawatt (GW) di antaranya dinilai layak secara finansial untuk dibangun. Temuan ini menjadi bukti bahwa transisi energi di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih agresif, terutama dengan pemanfaatan sumber daya surya, angin, dan hidro sebagai tulang punggung sektor kelistrikan masa depan.
Laporan bertajuk Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects yang dirilis oleh IESR, Kamis, 27 Februari, menunjukkan bahwa dari total potensi teknis energi terbarukan di 1.500 lokasi yang mencapai 548,5 GW, sekitar 333 GW dinyatakan memenuhi aspek kelayakan finansial berdasarkan aturan tarif dan mekanisme pembiayaan proyek yang berlaku di Indonesia. Adapun rinciannya mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ground-mounted sebesar 165,9 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) onshore sebesar 167 GW, serta Pembangkit Listrik Tenaga Mini dan Mikrohidro (PLTM) sebesar 0,7 GW.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut bahwa potensi besar energi terbarukan ini masih belum termanfaatkan secara maksimal.
“Teknologi energi terbarukan terus berkembang dan semakin kompetitif. Beberapa negara telah membuktikan bahwa kombinasi PLTS dan PLTB dengan sistem penyimpanan baterai mampu menghasilkan listrik dengan harga lebih murah dibandingkan pembangkit berbasis gas atau batubara. Ini bukan hanya soal mengurangi emisi, tetapi juga strategi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Fabby dalam acara Penyerahan Laporan Teknis Pre-FS Energi Terbarukan dan Peluncuran Hasil Studi Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects.
Lebih lanjut, Koordinator Riset Sosial, Kebijakan, dan Ekonomi IESR, Martha Jesica Mendrofa, mengungkapkan bahwa ada enam wilayah utama yang memiliki potensi tinggi dalam pengembangan energi terbarukan. Papua dan Kalimantan menjadi daerah dengan konsentrasi tertinggi untuk pengembangan PLTS, sementara Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan dinilai optimal untuk PLTB. Adapun Sumatera Barat dan Sumatera Utara memiliki potensi terbesar dalam pengembangan PLTM.
“Wilayah-wilayah ini dipilih berdasarkan analisis tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR), di mana sekitar 61 persen dari potensi proyek 333 GW ini memiliki tingkat EIRR di atas 10 persen. Ini menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut tidak hanya layak secara teknis tetapi juga menarik bagi investor,” jelas Martha.
IESR juga memberikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk mempercepat realisasi proyek-proyek ini. Pemerintah didorong untuk mengalokasikan lahan secara khusus bagi energi terbarukan, menyederhanakan perizinan, serta menetapkan target yang lebih ambisius dalam pengembangan energi bersih. Sementara itu, PLN diharapkan dapat mempercepat modernisasi jaringan listrik agar lebih fleksibel dalam mengakomodasi sumber energi intermiten seperti surya dan angin.
Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR yang juga terlibat dalam kajian ini, menambahkan bahwa sinergi antara pemerintah, perusahaan listrik, dan pengembang energi terbarukan menjadi kunci keberhasilan transisi energi di Indonesia.
IESR juga menyerahkan laporan teknis pra-kelayakan untuk tiga proyek spesifik, yaitu satu proyek PLTB di Sulawesi Selatan, satu proyek pumped hydro energy storage di Sulawesi Selatan, serta satu PLTS terapung di Kalimantan Selatan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Diharapkan, laporan ini dapat menjadi dasar untuk menginisiasi proyek-proyek tersebut dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock