oleh: Hartatik
Jakarta – Transisi energi di Indonesia mendapat sorotan tajam ketika sejumlah negara anggota Agensi Energi Internasional (IEA) meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global. Namun, pandangan terhadap komitmen tersebut dinilai belum cukup kuat, terutama dalam menghadapi tantangan global terkait perubahan iklim.
Menurut Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, rendahnya realisasi energi terbarukan Indonesia hingga akhir 2023, yang hanya mencapai 13,1 persen dari target 23 persen pada 2025, menjadi bukti nyata melemahnya komitmen Indonesia terhadap transisi energi. Kendati telah ada beberapa rencana kebijakan, seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, serta pembenahan Undang-Undang Kelistrikan, namun implementasinya masih terkendala.
“Faktor pendanaan dan teknologi menjadi kunci dalam transisi energi. Perlunya iklim investasi yang kondusif dan komitmen pendanaan yang jelas dari Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) atau dari negara-negara maju dan swasta menjadi hal yang krusial,” ujar Fahmy, Senin, 19 Februari.
Lebih lanjut, menurutnya, iklim investasi yang kondusif di bidang energi terbarukan mesti diciptakan. Komitmen pendanaan dari JETP atau dari negara-negara maju dan swasta, senilai 21,5 miliar dollar AS (mayoritas pinjaman konsesi), juga belum jelas wujudnya.
Menurut dia, jika sebatas komitmen maka transisi energi akan sulit diharapkan. Ia juga mendorong agar satu kebijakan dan kebijakan lain harus saling mendukung. Misalnya bagaimana energi terbarukan dapat dipacu dan di saat bersamaan ada kejelasan tahapan pengurangan energi fosil seperti batubara.
Menurut dia, perlu ada kebijakan yang saling terintegrasi. Fahmy menuturkan, tak dimungkiri bahwa Indonesia dianugerahi sumber daya batubara melimpah, yang salah satunya menopang kelistrikan nasional. Oleh karena itu, penghentian pemanfaatan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik tidak bisa seketika.
Namun, harus ada perencanaan jelas dan matang dalam penerapan teknologi untuk mengurangi emisi yang dihasilkan, sebagai bagian dari transisi energi. Ia menambahkan, hengkangnya Air Products dari proyek batubara menjadi dimetil eter (DME) di Sumatera Selatan, yang sudah dilakukan peletakan batu pertama (ground breaking) oleh Presiden, harus menjadi catatan penting. Selain itu, keekonomian harus dipikirkan matang.
”Hengkangnya investor menjadi sinyal ketidakseriusan. Harus ada komitmen lebih kuat dalam migrasi ke energi yang lebih bersih,” katanya.
Prioritas JETP tidak konsisten
Sementara belum lama ini Menteri ESDM Arifin Tasrif mengakui bahwa prioritas pemerintah saat ini bukan penghentian operasi PLTU, tetapi pembangunan infrastruktur transmisi.
”(Sebelum penghentian operasi PLTU), kayaknya kita harus membenahi dulu transmisi, (sehingga nanti) infrastruktur kita bisa dioptimalkan. Kita akan bisa lihat keseimbangannya,” katanya.
Arifin membenarkan mobilisasi investasi JETP diharapkan untuk mendahulukan pembangunan infrastruktur transmisi kelistrikan. Pasalnya, transisi energi bisa dilakukan hanya jika transmisi tersedia. Namun, lanjutnya, komitmen JETP total senilai 21,5 miliar dollar AS sejauh ini masih dipegang oleh International Partners Group (IPG) atau negara-negara pendonor JETP serta swasta.
Adapun pembangunan transmisi menjadi satu dari lima area investasi dalam JETP. Empat lainnya adalah pengakhiran dini operasi PLTU batubara, akselerasi energi terbarukan yang bersifat dispatchable (dapat dikontrol dan konstan), akselerasi energi terbarukan yang bersifat variable (bergantung cuaca), dan peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Tingginya peran batubara dalam bauran ketenagalistrikan di Indonesia masih menjadi salah satu kendala pengembangan energi terbarukan. Hingga akhir 2023, porsi energi terbarukan + bahan bakar nabati/BBN dalam bauran ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) baru 13,15 persen.
Sementara pembangkit batubara menjadi yang tertinggi, mencapai 67,66 persen. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik sejatinya mengamanatkan penyusunan peta jalan percepatan masa operasi PLTU. Namun, sampai saat ini, peta jalan yang direncanakan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM tersebut belum kunjung terbit.
Sementera itu, Dewan Energi Nasional (DEN) merencanakan penurunan target energi terbarukan dalam bauran energi primer, yang tertuang dalam draf Rancangan Peraturan Presiden (RPP) pembaruan Kebijakan Energi Nasional. Target diturunkan dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025. Yang menjadi pertimbangan ialah tak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dalam KEN yang ada saat ini.
Sebagai upaya menghadapi tantangan ini, Fahmy mendorong agar pemerintah memperkuat komitmen, memastikan keselarasan kebijakan, serta membangun iklim investasi yang kondusif. Hanya dengan langkah konkret dan terkoordinasi, transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih dapat tercapai, sehingga Indonesia dapat memainkan peran yang lebih proaktif dalam memerangi perubahan iklim global.