oleh: Firdaus Cahyadi*
“Kita diberi karunia oleh Tuhan Maha Besar, tanaman-tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung dengan bangsa lain. Tanaman-tanaman seperti kepala sawit bisa menghasilkan solar dan bensin, kita juga punya tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung dan lain-lain, kita juga punya energi bawah tanah geothermal yang cukup, kita punya batu bara yang sangat banyak kita punya energi dari air yang sangat besar,” ungkap Presiden Indonesia ke-8 Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya di Gedung MPR (20/10).
Pidato tentang energi itu dikemukakan Prabowo Subianto untuk menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk melakukan swasembada energi. Gagasan untuk swasembada energi tentu saja bagus dan nampak sangat nasionalis. Namun, benarkah itu yang menjadi persoalan energi di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa kupas satu per satu. Dimulai dari batubara. Di sektor energi Indonesia memiliki cadangan batubara yang melimpah. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), cadangan batubara Indonesia pada 2021 mencapai 38,84 miliar ton. Bila rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun, dengan asumsi tidak ada temuan cadangan baru.
Melimpahnya cadangan batubara itu membuat Indonesia sangat tergantung pada batubara. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi Indonesia pada 2023 masih didominasi batubara sekitar 40,46 persen, minyak bumi sekitar 30,18 persen, gas bumi sekitar 16,28 persen dan energi terbarukan sekitar 13,09 persen.
Celakanya, batubara adalah energi yang tidak dapat diperbaruhi. Cepat atau lambat akan habis. Batubara juga energi kotor. Emisi pembakaran batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Krisis iklim itu kini telah menimbulkan bencana ekologi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Bukan hanya itu proses penambangan batubara juga menimbulkan kerusakan alam. Pencemaran air, tanah dan udara adalah dampak dari operasional pertambangan batubara. Pertambangan batubara ini juga menjadi salah satu penyebab konflik agraria di masyarakat, karena seringkali konsesi pertambangan menggusur wilayah kelola masyarakat.
Singkatnya, kekayaan batubara yang dimiliki Indonesia telah menjadi kutukan bagi warganya, karena justru menjadi sumber-sumber ketidakadilan, baik ketidakadilan ekologi, ekonomi dan sosial. Pertanyaannya adalah apakah persoalan ketidakadilan yang melingkupi batubara ini akan dikesampingkan dengan dalih swasembada energi?
Sumber energi lainnya yang disebutkan Prabowo Subianto adalah sawit. Selam aini perkebunan sawit menjadi salah satu penyebab alih fungsi hutan di Indonesia. Laporan yang disusun Greenpeace dan lembaga ahli geospasial yang bertajuk TheTreeMap yang diluncurkan pada 2021 menemukan bahwa pada akhir 2019 terdapat 3,12 juta hektare sawit ditanam di kawasan hutan, angka itu sekitar 19% dari total luasan perkebunan sawit di Indonesia.
Penggunaan energi berbasikan sawit akan meningkatkan permintaan terhadap komoditi itu. Artinya, akan semakin banyak hutan yang dikorbankan. Bila itu terjadi, bukan hanya krisis iklim secara global yang terjadi namun juga bencana ekologi di tingkat lokal.
Perluasan kebun sawit secara ugal-ugalan juga berpotensi menimbulkan konflik agraria antara masyarakat sekitar dengan perusahaan sawit skala besar. Biasanya, negara melalui aparat keamanan akan berpihak pada perkebunan sawit skala besar itu. Potensi munculnya konflik agraria juga akan semakin kuat bila perekebunan singkong dan tebu dijadikan andalan dari agenda swasembada energi. Apakah pengembangan sawit, tebu dan singkong secara besar-besaran untuk swasembada energi dengan mengesampingkan persoalan keadilan ekologi dan agraria itu sesuatu yang adil?
Sumber energi berikutnya yang diungkapkan Prabowo Subianto dalam pidatonya adalah panas bumi atau geothermal. Sumber energi ini banyak ditolak oleh masyarakat sekitar karena mengancam keberlanjutan alam dan berpotensi menyingkirkan masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), proyek geothermal ini banyak mendapat perlawanan dari masyarakat. Perlawanan masyarakat terhadap proyek geothermal di Wae Sano, NTT, menyebabkan Bank Dunia, yang rencananya akan mendanai proyek itu membatalkan pendanaannya. Salah satu alasannya, proyek geothermal di Wae Sano tidak memenuhi aspek Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yang menjadi standart baku proyek Bank Dunia.
Masih di NTT, di Poco Leok, Flores, masyarakat setempat juga menolak proyek geothermal. Warga setempat menilai proyek yang rencananya akan didanai Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupannya. Di awal Oktober ini, aksi protes warga berujung pada kekerasan terhadap warga dan juga jurnalisn yang meliput aksi protes warga itu.
Sumber-sumber energi yang disebutkan Prabowo Subianto untuk menopang gagasannya tentang swasembada energi, adalah bagian dari sumber-sumber ketidakadilan di masyarakat. Gagasan swasembada energi penting dan bagus, tapi lebih penting lagi menghadirkan keadilan energi bagi rakyat Indonesia.
Pembangkitan energi dari sumber-sumber yang disebutkan dalam pidato Prabowo Subianto itu ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang di negeri ini atau lebih sering disebut kaum oligarki. Perkebunan sawit, yang menjadi salah satu andalan bagi gagasan swasembada energi ala Prabowo Subianto, misalnya menurut data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), 54,52 persen lahan sawit hanya dikuasai oleh 0,07 persen perusahaan sawit swasta. Hal yang sama juga terjadi di pertambangan batubara.
Celakanya, dalam pidato Prabowo Subianto saat pelantikannya menjadi Presiden Indonesia ke-8, tidak satupun menyinggung ketidakadilan energi yang terjadi di negeri ini. Padahal upaya swasembada energi tanpa pernah mengoreksi ketidakadilan yang terjadi di dalamnya hanya akan menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan mayoritas masyarakat.
Publik tentu harus menyuarakan persoalan keadilan energi ini secara terus menerus. Tanpa suara-suara publik tentang keadilan energi, para pengambil kebijakan di negeri ini akan salah mengidentifikasikan persoalan. Akibatnya, mereka juga salah merumuskan solusi atas persoalan energi itu. Solusi swasembada dengan mengabaikan keadilan energi adalah sebuah solusi palsu yang didapatkan karena kegagalan dalam mengidentifikasikan persoalan. Publik harus mengingatkan Prabowo Subianto bahwa ia telah keliru mengidentifikasikan persoalan energi di Indonesia.
*Firdaus Cahyadi adalah pendiri Climate Justice Literacy Indonesia