Jakarta – Indonesia berada di garis depan krisis iklim yang semakin parah, dengan hampir 45 juta penduduk Indonesia terpapar kondisi panas ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia dalam tiga bulan terakhir, menurut temuan baru yang dirilis pada tanggal 19 Maret.
Laporan Climate Central, yang menganalisis data iklim global dari Desember 2024 hingga Februari 2025, menemukan bahwa 17% populasi Indonesia atau 48,6 juta orang mengalami 30 hari atau lebih “panas yang berisiko” – suhu yang lebih panas dari 90% norma historis di wilayah mereka – yang secara langsung disebabkan oleh perubahan iklim. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang terkena dampak tekanan panas akibat perubahan iklim.
Perilisan laporan ini bertepatan dengan pengumuman dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), yang mengonfirmasi bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global yang meningkat hingga 1,55°C di atas tingkat pra-industri. WMO memperingatkan bahwa meskipun satu tahun di atas ambang batas 1,5°C belum berarti target Perjanjian Paris telah dilanggar, namun hal ini merupakan peringatan keras.
“Planet kita mengeluarkan lebih banyak sinyal bahaya,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. “Namun laporan ini menunjukkan bahwa membatasi kenaikan suhu jangka panjang hingga 1,5°C masih memungkinkan – Para pemimpin harus mengambil langkah untuk mewujudkannya – memanfaatkan energi terbarukan yang murah dan bersih untuk masyarakat dan ekonomi mereka – dengan rencana iklim nasional yang baru yang akan dirilis tahun ini.”

Grafik: WMOGet dataDiambil Unduh gambarDibuat dengan Datawrapper
Panas di Jakarta termasuk yang terburuk di Dunia
Jakarta, kota besar di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, menduduki peringkat teratas di dunia dalam hal suhu panas yang disebabkan oleh perubahan iklim. Menurut Climate Central, penduduk mengalami 69 hari dengan suhu pada Climate Shift Index (CSI) Level 2 atau lebih tinggi – yang berarti kondisi panas ini setidaknya dua kali lebih mungkin terjadi karena perubahan iklim.
Selain panas yang ekstrem, Indonesia juga mengalami curah hujan yang tinggi dan banjir selama periode ini, terutama di Pulau Jawa, di mana sungai-sungai meluap dan tanah longsor menewaskan 21 orang dalam tiga bulan terakhir, menurut laporan Climate Central. Kejadian-kejadian ini, yang merupakan bagian dari pola cuaca ekstrem yang lebih luas di Asia, konsisten dengan prediksi ilmiah yang mengaitkan pemanasan laut dan atmosfer dengan meningkatnya curah hujan dan bencana.
Laporan WMO menyoroti bagaimana pemanasan laut, yang mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024, memicu badai dan curah hujan yang lebih dahsyat dan tidak dapat dipulihkan selama berabad-abad, bahkan dalam skenario rendah emisi.
Sinyal global, konsekuensi lokal
Kedua laporan tersebut memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak perubahan iklim yang semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Selama periode tiga bulan, hampir 394 juta orang di seluruh dunia mengalami panas yang berbahaya selama satu bulan penuh yang diperparah oleh perubahan iklim – dan Indonesia sendiri menyumbang lebih dari 45 juta orang di antaranya.
Hal ini terjadi karena konsentrasi gas rumah kaca global tetap berada pada tingkat rekor, dengan karbon dioksida mencapai 420 ppm pada tahun 2023 – tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir – dan terus meningkat pada tahun 2024.
WMO memperingatkan bahwa kenaikan permukaan air laut telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1990-an, dan pencairan gletser telah mencapai rekor kecepatannya, sehingga mengancam ketahanan air dan pangan jangka panjang di seluruh wilayah tropis, termasuk Indonesia.
Indonesia, negara dengan lebih dari 17.000 pulau, sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut dan panas yang ekstrem. Namun, menurut Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo, hanya separuh negara di dunia yang memiliki sistem peringatan dini yang memadai – kesenjangan yang harus segera ditutup oleh Indonesia yang tengah menghadapi iklim ekstrem yang lebih mematikan.
WMO dan Climate Central sama-sama menekankan perlunya investasi yang mendesak untuk layanan iklim, sistem peringatan dini, dan energi terbarukan untuk melindungi masyarakat dari risiko yang semakin parah. (Hartatik/nsh)
Foto banner: Johannes Plenio/pexels.com