Indef: Pemerintah perlu mentransformasi mekanisme subsidi energi

Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong pemerintah untuk segera melakukan transformasi kebijakan subsidi energi menjadi lebih tepat sasaran dan tidak dijual ke pasar terbuka sebagaimana yang terjadi sekarang.

Target inflasi tahun 2023 sebesar 3,3% dengan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) atau minyak mentah sebesar USD 90/barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.800/USD, menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk mengelola kebijakan subsidi energi. Terdapat risiko tambahan beban anggaran subsidi dan kompensasi energi bila harga minyak mentah dunia melonjak maupun nilai tukar rupiah melemah melampaui batas asumsi tersebut.

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov mengatakan, transformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup dan tepat sasaran perlu segera dilakukan agar tambahan subsidi dan kompensasi energi tidak menyebabkan defisit APBN 2023 jebol di atas 3% dari pendapatan domestik bruto (PDB).

“Indef telah menyusun empat simulasi perubahan subsidi dan kompensasi BBM maupun LPG, untuk mengidentifikasi risiko tambahan kebutuhan subsidi dan kompensasi energi 2023,” ujar Abra dalam keterangan tertulis awal bulan ini. Asumsi dalam simulasi tersebut adalah perubahan pada variabel harga ICP yang menyentuh 110 USD/barel dan kurs mencapai Rp 15.500/USD, dan tidak terjadi perubahan pada pos APBN lainnya, khususnya pada sisi penerimaan negara.

Empat simulasi pengelolaan kebijakan subsidi energi Indef

Adapun simulasi pertama yakni jika volume BBM dan LPG subsidi sesuai kuota 2023, namun terjadi perubahan harga ICP menjadi USD 110/barel dan kurs Rp 15.500/USD, maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG sebesar Rp 124,9 triliun, sehingga berisiko mendorong kenaikan defisit APBN menjadi Rp 723 triliun atau 3,43% PDB.

Simulasi kedua, yaitu bila kenaikan harga ICP yang sama dengan asumsi pertama, disertai dengan asumsi mulai diberlakukannya pembatasan penjualan BBM bersubsidi sehingga berdampak terhadap pengurangan volume BBM bersubsidi hingga 10%, yaitu Pertalite menjadi 28,8 juta kiloliter (Kl) dan solar menjadi 14,4 juta Kl. Dengan kedua asumsi tersebut, potensi tambahan subsidi dan kompensasi sebesar Rp 53,8 triliun sehingga menjadikan defisit APBN sebesar Rp 652 triliun atau 3,10% PDB.

Simulasi ketiga, yaitu asumsi harga ICP 105 USD/barel dan kurs Rp 15.500/USD, dengan kuota BBM dan LPG yang sama namun dilakukan penyesuaian harga jual BBM dan LPG bersubsidi sebesar 10%, maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi sebesar Rp 88,8 triliun sehingga menjadikan defisit APBN sebesar Rp 687 triliun atau 3,26% PDB.

Simulasi keempat, dengan kenaikan harga ICP yang sama dengan asumsi ketiga, namun diikuti berkurangnya kuota BBM bersubsidi sebesar 10% (seperti simulasi kedua) serta ditambah kebijakan penyesuaian harga BBM dan LPG sebesar 10% (seperti simulasi ketiga), maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi sebesar Rp 25 triliun sehingga menjadikan defisit APBN sebesar Rp 623,2 triliun atau 2,96% PDB.

Dengan mencermati seluruh simulasi, Abra menyimpulkan sementara bahwa kondisi fiskal tahun 2023 cukup menantang dalam menghadapi risiko kenaikan harga minyak maupun pelemahan nilai tukar rupiah. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles