Jakarta – Pemerintah Indonesia saat ini menempatkan transisi energi sebagai bagian penting dari kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Kepemimpinan Prabowo-Gibran melalui agenda Asta Cita menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen dengan memanfaatkan peluang yang tercipta dari transisi energi menuju energi hijau. Dalam hal ini, transformasi energi bukan lagi sekadar tuntutan lingkungan, namun juga peluang ekonomi yang dapat menarik investasi dan menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan.
Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Prof. Bambang Brodjonegoro, menekankan pentingnya perspektif bahwa transisi energi adalah peluang, bukan beban ekonomi.
“Kita perlu membangun paradigma baru bahwa transisi energi justru menjadi potensi ekonomi yang besar bagi Indonesia. Dengan mengubah pandangan ini, kita dapat menarik lebih banyak investasi yang mendukung inovasi dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” ujar Bambang pada pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 di Jakarta, Senin, 4 November.
Langkah ini, menurutnya, harus dilakukan melalui pendekatan transisi energi berkeadilan, yang memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang kurang terjangkau energi, untuk mendapatkan akses yang lebih luas terhadap energi terbarukan. Pendekatan ini menekankan bahwa kesetaraan sosial dan ekonomi merupakan pilar utama dalam mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
“Pemerintah perlu memadukan kebijakan ekonomi dan energi secara terpadu untuk memastikan bahwa transisi energi tidak hanya mendukung penciptaan lapangan kerja, tetapi juga memperkuat resiliensi ekonomi Indonesia. Semua harus terlibat dalam proses ini tanpa terkecuali,” lanjut Bambang.
Melalui agenda Asta Cita, pemerintah juga berencana untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan mengoptimalkan efisiensi energi dua kali lipat pada 2030, sebagaimana komitmen dalam COP28. Target tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia berupaya secara serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey, menyatakan bahwa sebagai bagian dari aksi mitigasi iklim, Inggris telah mengakhiri operasi PLTU batubara terakhirnya bulan lalu, sehingga kini seluruh pasokan listriknya tidak ada yang berasal dari batubara.
“Inggris berkomitmen untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga dengan berbagai mitra global termasuk Indonesia, serta berkolaborasi bersama karena perubahan iklim merupakan tantangan global yang membutuhkan aksi global,” katanya.
Dominic juga menekankan bahwa “Indonesia tidak sendirian dalam perjalanan transisi energi. Sebagai mitra global, Inggris, bersama anggota International Partners Group (IPG) lainnya dalam kemitraan JETP, senantiasa mendukung upaya dekarbonisasi sektor energi Indonesia”.
Pendekatan transisi energi berkeadilan ini diharapkan mampu memperkuat daya saing ekonomi Indonesia, mendorong inovasi teknologi, dan meningkatkan investasi di sektor energi terbarukan. Bambang optimistis bahwa, di era Prabowo-Gibran, langkah ini tidak hanya mendukung visi energi bersih, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat luas, memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional, serta membangun fondasi ekonomi yang tangguh di tengah tantangan global. (Hartatik)