IESR: Transisi energi lamban, investasi EBT tidak menarik

Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan keprihatinannya tentang lambannya perkembangan transisi energi di Indonesia sepanjang 2024. Menurutnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih menjadi tulang punggung energi Indonesia, pada saat yang sama membebani lingkungan dan ekonomi, terutama dalam menarik investasi di sektor energi terbarukan.

“Kita menghadapi situasi di mana energi fosil, khususnya PLTU, masih mendominasi dengan kontribusi sekitar 67-68 persen. Padahal, target energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional sebesar 23 persen pada 2025 tinggal satu tahun lagi,” kata Fabby dalam keterangan resmi, Selasa, 24 Desember.

Saat ini, bauran energi terbarukan baru mencapai 14 persen, jauh dari target 20-21 persen yang seharusnya dicapai pada akhir 2024. Fabby menambahkan, selisih sekitar 7 persen itu setara dengan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 7-9 gigawatt.
“Ini pekerjaan besar yang harus diselesaikan dalam waktu singkat.”

Di saat dunia melangkah menuju pengurangan emisi karbon, Indonesia justru menghadapi tantangan berupa stranded assets—aset fosil yang akan kehilangan nilai di masa depan. PLTU, yang awalnya menjadi andalan, kini mulai dianggap tidak ekonomis seiring meningkatnya persaingan global terhadap energi bersih.

Fabby juga menyoroti tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kelistrikan Indonesia, yang mencapai 30-40 persen lebih tinggi dibanding Vietnam. Menurutnya, jika Indonesia tidak segera mempercepat pembangunan energi terbarukan, dampaknya akan terasa pada daya saing ekonomi. “Kami khawatir ketidakseimbangan ini akan memengaruhi target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan pemerintah,” ungkapnya.

Target net-zero emissions yang ditetapkan pemerintah pada 2060, dinilai Fabby masih belum terintegrasi. Salah satu contohnya adalah Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang penghentian operasi PLTU pada 2050. “Aturan ini tidak tercermin dalam Rencana Umum Energi Nasional maupun RUPTL terbaru. Jika kebijakan tidak selaras, target 2060 akan sulit tercapai,” katanya.

Fabby menekankan perlunya sinkronisasi antarregulasi. Ia menyebutkan bahwa kebijakan di tingkat kementerian hingga perusahaan seperti PLN harus memiliki visi yang sama. “Kita perlu penyelarasan menyeluruh agar target seperti penghentian PLTU pada 2040 benar-benar bisa diwujudkan,” tegasnya.

Meski menghadapi berbagai kendala, IESR melihat peluang besar dalam dua sektor utama yakni kelistrikan dan transportasi. Pembangunan pembangkit energi terbarukan hingga 5-7 gigawatt pada 2030 dianggap langkah vital untuk mempercepat transisi energi di sektor kelistrikan. Sementara itu, elektrifikasi kendaraan mulai menunjukkan tren positif, dengan meningkatnya adopsi motor, mobil, dan bus listrik. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles