Jakarta – Transformasi kebijakan energi dan dekarbonisasi industri dianggap sebagai langkah krusial dalam upaya Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa kebijakan energi yang lebih mutakhir dan terukur sangat diperlukan untuk mengatasi lambannya perkembangan sektor energi terbarukan di tanah air.
Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR, His Muhammad Bintang, menuturkan bahwa pertumbuhan sektor ketenagalistrikan, yang diharapkan akan mendorong penambahan bauran energi terbarukan, masih sangat lambat.
“Terdapat beberapa penyebab lambannya implementasi energi terbarukan. Pertama, rendahnya permintaan energi dibandingkan proyeksinya. Kedua, lapangan tanding yang tidak setara, pembangkit energi terbarukan dipaksa bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batubara dengan regulasi Domestic Market Obligation (DMO). Ketiga, integrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB menghadapi tantangan teknis dari kondisi sistem jaringan listrik saat ini,” ujar Bintang dalam diskusi bertajuk Update Isu dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR, Rabu, 3 Juli.
Selain itu, IESR menekankan bahwa pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan finalisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.
Saat ini, pemerintah tengah melakukan pembaruan beberapa regulasi dan kebijakan pada sektor energi. Menurut Bintang, partisipasi aktif dari pelaku industri, media, masyarakat sipil, dan berbagai pihak lainnya sangat penting untuk memastikan pembaruan kebijakan ini bisa menjadi solusi atas kendala pengembangan energi terbarukan selama ini. Peluang untuk menaikkan bauran energi terbarukan juga terbuka luas dengan meningkatnya kebutuhan energi, terutama di sektor industri.
“Indonesia perlu segera meningkatkan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan transisi energi dengan mengembangkan industri energi terbarukan domestik,” kata Bintang.
Bintang juga menggarisbawahi pentingnya menangkap fenomena permintaan dari pembeli (buyer’s demand) akan produk hijau. Selain itu, dinamika geopolitik energi dunia mempengaruhi daya saing investasi di Indonesia. Aturan karbon dan pajak seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan Inflation Reduction Act (IRA) mempengaruhi aliran investasi ke negara-negara Selatan, termasuk Indonesia.
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Iswahyudi, menyatakan bahwa modernisasi jaringan grid yang cerdas dan terintegrasi secara nasional sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur transmisi dalam negeri yang tangguh dan andal.
“Mengacu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan dikembangkan secara masif pada 2030 diikuti oleh pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada 2037,” tegas Hendra.
Hendra juga menjelaskan bahwa energi surya diprioritaskan untuk dikembangkan dengan didukung oleh biaya yang terus menurun. Rencana pengembangan PLTS terdiri dari pengembangan PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 gigawatt (GW) dan PLTS skala besar yang ditargetkan mencapai 4,68 GW pada 2030. Selain itu, potensi PLTS terapung yang dapat dikembangkan mencapai 89,37 GW.
Melalui pembaruan kebijakan yang komprehensif dan langkah-langkah konkret dalam dekarbonisasi industri, Indonesia diharapkan dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mencapai target net-zero emissions pada tahun 2060. (Hartatik)